Senin, 14 Juni 2010

BIOLOGI DAN PENGENDALIAN THRIPS PADA CABAI

Biologi
Thrips pada cabe termasuk sub ordo terebrantia yaitu thrips tabaci. Pada sub ordo ini terdapat ovipositor yang berfungsi untuk mengebor dan meletakkan telur kedalam jaringan tanaman. Thrips panjang tubuhnya 1-2 mm berwarna hitam, datar, langsing dan mengalami metamorfosis sederhana/ setengah sempurna yaitu mulai dari telur kemudian nimfa/thrips muda berwarna putih atau kuning baru setelah itu menjadi thrips dewasa sebelum mengalami dua sampai empat instar ( Anonimus, 2009 ).

Thrips dapat berkembang biak secara generatif (kawin) maupun vegetatif melalui proses Phartenogenesis, misalnya thrips yang mengalami phartenogenesis adalah Thrips tabaci yang menyerang tembakau. Perkembangbiakan secara phartenogenesis akan menghasilkan serangga-serangga jantan. Menurut Kalshoven (1981) bahwa imago betina Thrips dapat meletakkan telur sekitar 15 butir secara berkelompok kedalam jaringan epidhermal daun tanaman dengan masa inkubasi telur sekitar 7 hari.

Telur
Telur dari hama ini berbentuk oval atau bahkan mirip seperti ginjal pada manusia, imago betina akan memasukkkan telurnya ke dalam jaringan epidhermal daun dengan bantuan ovipositornya yang tajam. Ukuran telurnya sangat kecil maka sering tak terlihat dengan mata telanjang. Telur ini diletakkannya dalam jumlah yang besar,dengan rata-rata 80 butir tiap induk. letak telur akan mudah diketahui dengan memperhatikan bekas tusukan pada bagian tanaman tersebut dan biasanya disekitar jaringan tersebut terdapat pembengkakan. Telur-telur ini akan menetas sekitar 3 atau 7 hari setelah pelatakan oleh imago betina( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).




Gambar : Telur beserta nimfa yang baru menetas
Gambar 1 : Telur serta nimfa yang baru menetas
www.uidaho.edu/so-id/entomology/thrips.jpg


Nimfa
Thrips muda atau nimfa akan berwarna putih pucat atau pucat kekuningan sampai kepada berwarna jernih. Biasanya Thrips muda ini gerakannya masih sangat lambat dan pergerakannya hanya terbatas pada tempat dimana dia memperoleh makanan. Nimfa terdiri dari empat instar, dan Instar pertama sudah mulai menyerang tanaman. sayap baru akan terlihat pada masa pra-pupa. Daur hidup sekitar 7-12 hari ( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).








Gambar 2 : Telur serta instar 1-4 sampai imago hama Thrips
http://buletinagraris.blogspot.com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html.


Imago
Imago akan bergerak lebih cepat dibanding dengan nimfanya, telah memiliki sayap yang ukurannya relatif panjang dan sempit, imago ini tubuhnya berwarna kuning pucat sampai kehitam-hitaman. Serangga dewasa berukuran 1-2 mm. Imago betina dapat bertelur sampai 80 butir yang diletakkannya kedalam jaringan epidhermal daun dengan bantuan ovipositornya yang tajam.( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).


Gambar 3: Siklus hidup hama Thrips menyerang tanaman Cabai (Capsicum annum L.)
http://edis.ifas.ufl.edu/LyraEDISServlet?command=getImageDetail&image_soid=FIGURE%201&document_soid=IN292&document_version=46095

Gejala Serangan


Pada permukaan daun akan terdapat bercak-bercak yang berwarna putih seperti perak. Hal ini terjadi karena masuknya udara ke dalam jaringan sel-sel yang telah dihisap cairannya oleh hama Thrips tersebut. Apabila bercak-bercak tersebut saling berdekatan dan akhirnya bersatu maka daun akan memutih seluruhnya mirip seperti warna perak. Lama kelamaan bercak ini akan berubah menjadi warna coklat dan akhirnya daun akan mati. Daun-daun cabai yang terserang hebat maka tepinya akan menggulung ke dalam dan kadang-kadang juga terdapat bisul-bisul. Kotoran-kotoran dari Thrips ini akan menutup permukaan daun sehingga daun menjadi hitam. Jadi pada umumnya bagian tanaman yang diserang oleh Thrips ini adalah pada daun, kuncup, tunas yang baru saja tumbuh, bunga serta buah cabai yang masih muda ( Setiadi, 2004 ).
Tanaman cabai yang pertumbuhannya lemah sering sekali mendapat serangan, hal ini dikarenakan ketebalan epidermisnya yang kurang atau tidak normal. Maka akan terjadi pertumbuhan yang abnormal sehingga pembentukan bunga dan buah akan terhambat.















Gambar 4: Gejala Serangan Thrips pada daun Cabai (Capsicum annum L.)
http://indonesiachili.com/pest.htm


Seperti yang dijelaskan diatas bahwa hama Thrips ini sudah menyerang tanaman cabai dimulai saat nimfa sampai kepada imago. Artinya begitu telur menetas menjadi nimfa maka akan langsung menghisap cairan tanaman. Nimfa biasanya bergerak jauh lebih lambat daripada imago, hal ini penting untuk membedakan antara imago dengan nimfa, Kotoran hama ini yang berbentuk seperti tetes hitam dapat menutupi jaringan daun yang diserangnya sehingga daun berubah menjadi hitam ( Setiadi, 2004 )
Tanaman Inang
Thrips bersifat polifag. Selain cabai, tanaman inang utamanya adalah bawang merah, bawang daun, tomat, tembakau, kentang, dan tanaman kacang-kacangan. ( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Dari fakta diatas maka akan dapat dipikirkan suatu pengendalian, yaitu dengan tidak menanam berbagai jenis tanaman inang diatas dengan lokasi yang berdekatan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perpindahan hama Thrips dari komoditi yang satu ke komoditi yang lain, sehingga menyulitkan dalam hal pengendaliannya atau bahkan bisa menyebabkan kerusakan produksi- hasil.




































Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
Jamur B. bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang disebut miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, oleh karena itu ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya (Anonimus, 2008).
Konidia jamur bersel satu, berbentuk oval agak bulat (Globose) sampai dengan bulat telur (obovate), berwarna hialin dengan diameter 2-3 µm. Konidiofor berbentuk zigzag merupakan cirri khas dari genus beauveria ( Barnett, 1960).
Jamur beauveria bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan serangga. B. bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melelui kulit kutikula, mulut dan ruas-ruas yang terdapat pada tubuh serangga . jamur ini ternyata memiliki spectrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga sebagai hama tanaman. Hasil penelitian menunjukkan, B. bassiana efektif untuk mengendalikan semut api, aphid, dan ulat grayak (Dinata, 2006).
Miselium jamur B. bassiana bersekat dan bewarna putih, didalam tubuh serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4 µm, sedang diluar tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 µm. hifa fertile terdapat pada cabang (branchlests), tersusun melingar (verticillate) dan biasanya menggelembung atau menebal. Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-cabangnya (Utomo dan Pardede, 1990).
Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis kumbang. Sebagai patogen serangga, B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang lembab dan hangat. Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai agensi hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga tanaman gurun pasir (Sutopo. dan Indriyani., 2007).
Sistem kerjanya yaitu spora jamur B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur ini selanjutnya akan mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia jamur akan tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan tertutup oleh benang-benang hifa berwarna putih (Anonimus, 2008)

Gambar 5. Konidia Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin.
Sumber : www.mycology.adelaide.edu.au/.../beauveria1.htm

Metarhizium anisopliae var anisopliae
Jamur M. anisopliae ini pertama kali ditemukan oleh Metschikoff pada tahun 1879, jamur ini bersifat parasitik terhadap serangga termasuk kumbang kelapa (Jumar, 2000).
Jamur ini biasanya disebut Green Muscardine Fungus dan tersebar diseluruh dunia. Jamur ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan dibeberapa Negara termasuk Indonesia (Tanada dan Kaya, 1993).
Pada awal pertumbuhan, koloni jamur bewarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Miselium berdiameter 1,98 – 2,97 µm, kemudian tersusun dengan tegak, berlapis dan bercorak yang dipenuhi dengan konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9 µm (Prayogo dkk, 2005).

Konidiofor tersusun rapat dalam struktur seperti spodokium, mendukung beberapa “phialidae” yang sering kali tersusun seperti susunan lilin “phialidae” berbentuk silindris. Pada ujungnya dibentuk konidia dalam rantai konidia satu sel, berdinding halus, tidak bewarna dan berbentuk silindris “oval” (Rayati, 2000).
Jamur M. Anisopliae terdiri dari dua jenis / bentuk, yang pertama adalah yang mempunyai spora pendek yaitu M. anisopliae var anisopliae dan yang mempunyai spora panjang yaitu M. anisopliae var major. Strain varietas M. anisopliae yang memiliki spora pendek, konidia berukuran 9,0 – 9,9 µm sedangkan varietas major memiliki spora yang panjang, konidia berukuran 9,0 – 18,0 µm. pada pengujian dengan enzim yang sama strain varietas major relative genusnya sama tetapi untuk strain varietas anisopliae genusnya sangat berbeda (Tanada dan Kaya, 1993).
Jamur M. anisopliae ini bersifat parasit pada serangga dan bersifat saprofit pada tanah atau bahan organic. Jamur ini mengadakan penetrasi ke dalam tubuh serangga melalui kontak dengan kulit di antara ruas-ruas tubuh. Mekanisme penetrasinya di mulai dengan menempelkan konidia pada kutikula atau mulut serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan membentuk tubuh kecambah. Apresorium mula-mula dibentuk dengan menembus epitikula, selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam (Situmorang, 1990).
Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman. (Alexopoulus dan Mims, 1996).


Gambar 6. Konidia Metarhizium anisopliae var anisopliae
http://fruit.naro.affrc.go.jp/kajunoheya/epfdb/Deutte/Metarh/micro/FRM01.jpg.

Minggu, 13 Juni 2010

kawan

Sahabat Q...
Masih ingatkah engkau, saat pertama kita bertemu dan berkenalan?
Masih ingkatkah engkau, mengapa kita bisa seakrab ini?
Masih ingkatkah engkau, pada setiap kisah yang telah kita lalui bersama di masa silam?

Sahabatq
masih jelas teringat di benakku....
Kita dimarahii.......DI BOTAK....
mengelilingi Api Unggun di embun pagi sibolangit.>>
Ingatkah kamu kwAn ktika aq hrus mengucapkan kta
""AKU ADALAH RAJA"'?
Kamu mau tertawa tapi kmu takut kena bayang2 amarah mereka
Smua itu kita masih berada dalam KEHIJOAN ala PERTANIAN

Ingatkah kamu INSECTARIUM itu kawan labuhan terakhir curahan HATI kita dsana
Bercanda , Tertawa, Bercerita
smua tentang kisah keseharian kita hinnga MATAHARI
tenggelam di bayang-byang langit


Ingatkah kamu kawan ktika kita harus mnahan AMARAH Ktika DI LAB itu??
Mkan di Jalan......pintu pertanian
cuci tangan di kolam pertanian...........
menunggu satu kata ACC

Sahabat Q...
Aku masih ingat itu semua..
Dimana saat - saat kita saling bersenda gurau, tertawa, menangis dan saling berbagi (terutama berbagi BAHAN praktikum he.he....^_*)
Sungguh menyenengkan ....

Namun, kita pun tak slalu harmonis
terkadang kita pun saling bertengkar dan berselisih paham
karena keegoisan kita

Akan tetapi, hal itu tak berarti kita tak sahabatan lagi
justru semua itu smakin menguatkan persahabatan ini
Kita belajar dewasa dalam menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing

Sahabat Q...
Dahulu kita bersama berjuang mengGapai cita
dan kini kita tlah berada di sebuah ujung jalan

Sebuah ujung jalan yang memaksa kita
untuk menempuhnya seorang diri
Sebuah ujung jalan yang memaksa kita
untuk tak bersama
Sebuah ujung jalan yang menuntun kita ke masa depan kita masing-masing

Sahabat Q....
Meski kelak kita tak bersama lagi
Meski kelak kita tak bertemu lagi

Namun kenangan di antara kita
tak akan pernah pudar dari ingatan ku
Karna ku percaya
Jika Tuhan izinkan
Nanti kita pasti kan bertemu kembali..



Didedikasi kan:
Utk Semua sahabat HPT STAMBUK 2005

Selasa, 08 Juni 2010

PENDAHULUAN



Latar Belakang


Kelapa sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona, luasnya terus berkembang dan tidak hanya merupakan monopoli perkebunan besar negara atau perkebunan besar swasta. Saat ini perkebunan rakyat sudah berkembang dengan pesat. Permintaan minyak kelapa sawit di samping digunakan sebagai bahan mentah industri pangan juga digunakan sebagai bahan mentah industri nonpangan. Jika dilihat dari biaya produksinya, komoditas kelapa sawit jauh lebih rendah dari pada minyak nabati lainnya (Risza, 1994)
Usaha untuk memperbaiki kemajuan pemasaran minyak kelapa sawit (CPO) dan perkembangan perkebunan kelapa sawit harus didukung oleh berbagai informasi yang menunjang. Kebutuhan akan sistem informasi yang baik dan lengkap sudah dirasakan oleh perusahaan perkebunan swasta seperti PT Astra Agro Lestari Tbk, apalagi dengan kondisi perkebunan kelapa sawit yang mempunyai banyak areal yang tersebar di berbagai pulau seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kondisi perkebunan kelapa sawit yang sangat luas dan tersebar di berbagai lokasi yang berjauhan berdampak pada volume data serta informasi yang besar dan kompleks yang selalu terkait dengan informasi spasial (geografis) atau lokasi baik secara global maupun rinci (Suroso, dkk. 2003).
Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah dengan pesat demikian juga produksi dan ekspor minyak sawitnya. Luas areal tanaman kelapa sawit dari 290 ribu ha pada tahun 1980 sampai 5,9 juta ha pada tahun 2006 atau meningkat 20 kali lipat. Dalam kurun waktu yang sama, produksinya berupa CPO (minyak kelapa sawit mentah) dan CPKO (minyak inti sawit mentah) meningkat 17 kali lipat dari 0,85 juta ton menjadi 14,4 juta ton. Indonesia saat ini produksi minyak sawit kedua terbesar dan diperkirakan tahun 2010 menjadi nomor satu dunia melampaui Malaysia. Lima provinsi perkebunan terluas berturut-turut: Riau 1,3 juta ha, Sumatera Utara 964,3 ribu ha, Sumatera Selatan 532,4 ribu ha, Kalimantan Barat 466,9 ribu ha dan Jambi 466,7 ribu ha. Kelima provinsi tersebut memilik 3,770 juta ha atau 67,4% dari 5,597 juta ha di seluruh Indonesia (Samhadi, 2006)
Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan bagian dari kurikulum di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan mahasiswa yang telah lulus mata kuliah 110 SKS. Sesuai dengan visi Departemen Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian untuk menghasilkan sarjana pertanian yang kompeten di bidang perkebunan maka mahasiswa wajib untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan.
Kegiatan akademis mahasiswa sebagian besar dimanfaatkan untuk belajar di ruang kuliah, kegiatan pratikum di laboratorium dan perpustakaan, sedangkan pengalaman praktis dan keterampilan dalam mengembangkan profesi di bidang pertanian serta dalam memecahkan masalah-masalah di lapangan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, menjelang akhir masa kuliah mahasiswa perlu melaksanakan kegiatan keterampilan profesi yang disebut Praktek Kerja Lapangan (PKL). Dengan praktek kerja lapangan, mahasiswa diharapkan dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan dan menambah pengalaman di lapangan secara langsung

Tujuan Praktek Kerja Lapangan

Untuk mengetahui pola sistem manajemen perusahaan dalam pengelolaan kelapa sawit (budidaya, hama penyakit), untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman praktis dan mengetahui keadaan sebenarnya di lapangan, meningkatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan meningkatkan sikap profesionalisme melalui penerapan ilmu di lapangan
Kegunaan Praktek Kerja Lapangan
Manfaat dari pelaksanaan PKL ini adalah:

1. Manfaat bagi Mahasiswa
a. Mengetahui teknik pengelolaan hama dan penyakit Kelapa Sawit di lapangan
b. Mengetahui jenis hama dan penyakit Kelapa Sawit di lapangan.
2. Manfaat bagi Fakultas
Fakultas dapat mengetahui sejauh mana pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa dapat diaplikasikan ke lapangan kerja.
3. Manfaat bagi Perusahaan
Perusahaan dapat memberikan gambaran atau memperkenalkan perusahaannya kepada pihak luar (mahasiswa atau fakultas) dan saling bertukar informasi mengenai perkembangan pengetahuan tentang pengelolaan hama dan penyakit yang diperoleh di perguruan tinggi..



DESKRIPSI PERKEBUNAN PT. KERASAAN INDONESIA


Sejarah Perkebunan
PT. Kerasaan Indonesia merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit anggota SIPEF group yang berlokasi di daerah Kerasaan, Kabupaten Simalungun dengan jarak ± 125 km dari kota Medan. Perkebunan ini berada pada ketinggian ± 99 meter di atas permukaan laut
Anak perusahaan dari SIPEF group adalah sebagai berikut:
1. PT. Tolan Tiga Indonesia – Head Office Medan
2. PT. Tolan Tiga Indonesia – Parlabean Palm Oil Mill
3. PT. Tolan Tiga Indonesia – Parlabian Estate
4. PT. Tolan Tiga Indonesia – Tolan Estate
5. PT. Simpang Kiri Plantation Indonesia – Simpang Kiri Estate
6. PT. Timbang Deli Medan – Timbang Deli Estate
7. PT. Bandar Sumatera Indonesia – Bandar Pinang Estate
8. PT. Pangkatan Indonesia – Pangkatan Estate
9. PT. Bilah Platindo – Bilah Estate
10. PT. Agro Muko – Mukomuko Estate
11. PT. Agro Muko – Talang Petai Estate
12. PT. Agro Muko – Tanah Rekah Estate
13. PT. Agro Muko – Air Buluh Estate
14. PT. Agro Muko – Sei Betung Estate
15. PT. Agro Muko – Bunga Tanjung Palm Oil Mill
16. PT. Melania Senna Alicia Palembang – Mas Estate
17. PT. Melania Indonesia Jawa Barat Cibuni – Cibuni Estate
18. PT. Kerasaan Indonesia – Kerasaan Estate
19. PT. Eastern Sumatera Indonesia – Bukit Maradja Estate
20. PT. Sembada Sennah Maju Indonesia – Sennah Estate
21. PT. Umbul Mas Wisesa – Umbul Mas Wisesa
Adapun jenis kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.) yang ditanam di PT. Kerasaan Indonesia adalah jenis tenera yamg merupakan hasil persilangan antara dura dan psifera, yang bibitnya diperoleh dari : Bahlias Research Centre, Socfindo, Marihat Research Centre dan PT. London Sumatera Indonesia
Letak Geografis
PT. Kerasaan Indonesia berlokasi di Desa Kerasaan II, Kecamatan Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun, Propisnsi Sumatera Utara yang berbatsab dengan
Sebelah Utara : Desa Kandangan dan Desa Pardomuan Nauli
Sebelah Timur : Desa Pematang Sahkuda
Sebelah Barat : Desa Bukit Maradja dan Desa Bah Gunung
Sebelah Selatan : Kelurahan Kerasaan I
Kebun terdiri dari 3 divisi serta 3 ha lokasi pembibitan. Secara geologis kebun kerasaan memiliki jenis tanah mineral dengan tekstur tanah liat berpasir. Peta lokasi dapat dilihat pada lampiran 2




TINJAUAN PUSTAKA
Hama Dan Penyakit Penting Tanaman Kelapa Sawit
A. Hama

1. Ulat Api (Setothosea asigna)
Hama ulat api seperti Setothosea asigna dan Setora nitens (Lepidoptera : Limacodidae) dan ulat kantong Metisa planan dan Mahasena corbetti (Lepidoptera: Pysychidae) merupakan Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS) yang utama serta menimbulkan kerugian. Dari hasil percobaan simulasi kerusakan daun yang dilakukan pada kelapa sawit yang berumur 8 tahun, diperkirakan penurunan produksi mencapai 30 % - 40 % pada dua tahun setelah terjadinya kehilangan daun sebesar 50 % (Sudharto, dkk. 2005)
Gejala serangannya yaitu daun berlubang karena gigitannya, pada serangan berat daun kelapa sawit tinggal lidinya saja. Akibat langsung serangan menengah dan berat adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produksi buah karena sumber nutrisi hasil fotosintesis menurun jumlahnya. Ulat ini disebut ulat api karena bulu-bulunya tajam dan jika mengenai kulit akan terasa panas seperti api (Hadi, 2004)
Pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan dengan pengendalian secara kimia karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Jamur Cordyceps militaris sebagai salah satu agensia pengendalian anggota merupakan salah satu patogen pada ulat api yang perlu mendapat perhatian karena jamur tersebut berpotensi tinggi untuk mengendalikan populasi ulat api. Jamur ini menyerang ulat api pada akhir fase larva sampai dengan fase pupa (Wahyu, 2004)

2. Tikus (Rattus rattus sp.)
Pada tanaman belum menghasilkan (TBM), tikus menyerang umbut atau titik tumbuh. Gejala serangan berupa bekas gerekan, lubang-lubang pada pangkal pelepah, bahkan sering ditemui pelepah yang putus atau terkulai. Kadang-kadang serangan hama ini dijumpai sampai ke titik tumbuh, terutama pada tanaman umur sekitar satu tahun sehingga menyebabkan kematian pada tanaman. (Prima tani, 2006).
Pengendalian serangan tikus pada tanaman yang baru ditanam dapat dilakukan dengan menggunakan kawat awat ayam ataupun kawat loket untuk melindungi pangkal batang tanaman tersebut. Kawat ini dapat digunakan beberapa kali. Namun demikian, apibila populasi tikus tinggi, maka perlu dilakukan penngendalian dengan umpan beracun klerat RMB dan Tikumin dan dipasang 1-3 umpan per pohon. Selain itu juga dapat dilakukan pengembangbiakan burung hantu Tyto alba dengan cukup memasang gupon di areal perkebunan kelapa sawit (Purba, dkk. 2008 )
3. Hama Oryctes rhinoceros
Kumbang tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama yang utama menyerang tanaman kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. O. rhinoceros menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman (Susanto dan Utomo, 2005)
Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian salah satu ketiak pelepah daun paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf ”V”. Gejala ini merupakan ciri khas kumbang O. rhinoceros (Purba, dkk. 2008)
Serangan hama O. rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar pada panen tahun pertama hingga 60 % dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25 % (Pusat Penelitian Kelapas Sawit, 2009).
B. Penyakit
1. Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense)
Penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense. Gejala penyakit busuk pangkal batang dapat diketahui dari mahkota pohon. Pohon yang sakit mempunyai janur (daun yang belum membuka, spear leaves) lebih banyak daripada biasa. Daun berwarna hijau pucat, daun tua layu, patah pada pelepahnya, dan menggantung di sekitar batang. Penyakit ini menyebabkan busuk kering pada jaringan dalam. Pada penampangnya bagian batang yang terserang ini berwarna cokelat muda dengan jalur-jalur tidak teratur yang berwarna yang lebih gelap. Pembusukan pada pangkal batang (Gambar 1) diikuti tumbangnya pohon. Penyakit busuk pangkal batang tidak hanya terjadi pada tanaman tua, tetapi dapat juga menyerang kelapa sawit yang belum menghasilkan (Purba, dkk. 2005)


Gambar 1 : Serangan Ganoderma boninense
Sumber : foto langsung

Ganoderma boninense memiliki tubuh buah fruiting body berwarna cokelat dengan tepi berwarna putih (Gambar 2). Bentuk tubuh buah seperti kipas dan keras, seperti papan atau payung. Tubuh buah jamur ini dapat berumur sampai beberapa tahun, sehingga berpotensi untuk berkembang lebih lama dan menyebabkan kerugian yang besar (Yanti dan Susanto, 2003).

Gambar 2 : Fruiting body Ganoderma boninense
Sumber : Foto langsung

Pengendalian penyakit busuk pangkal batang ini dilakukan dengan melakukan sanitasi sumber inokulum. Pencegahan penyakit dengan pemberian agens antagonis yaitu Trichoderma sp., mencegah penularan penyakit dalam kebun dengan pembuatan selokan isolasi di sekitar tanaman yang terserang (Susanto dan Utomo, 2005).
METODE PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

Tempat dan Waktu

Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Kerasaan Estate Kabupaten Simalungun dengan ketinggian ± 99 meter di atas permukaan laut. Praktek kerja lapangan ini dilaksanakan tanggal 1 sampai 31 Juli 2009. Izin lokasi praktek kerja lapangan dapat dilihat pada lampiran 1
Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan yang digunakan pada praktek kerja lapangan ini adalah sebagai berikut :
a. Orientasi
Melihat secara langsung garis besar tentang keadaan perusahaan, mengenal terhadap pimpinan karyawan yang berhubungan dengan praktek kerja lapangan (PKL).
b. Melihat proses
Mencari informasi dan melihat secara langsung tindakan pengelolaan budidaya kelapa sawit di lapangan dengan pokok-pokok pembelajaran sebagai berikut sebagai berikut.
1. Panen
a. Panen Pertama (new mature)
- Bagaimana cara menentukan kelapa sawit (oil palm) yang siap di panen pertama kali (new mature)
- Apa yang dilakukan sebelum ditentukan untuk dipanen
- Berapa hasil yang diharapkan di tahun pertama panen
b. Panen Tanaman Menghasilkan (mature)
 Bagaimana kriteria buah masak fersi Tolan Tiga Indonesia
 Bagaimana menentukan kriteria tersebut di lapangan
 Bagaimana cara memanen
 Bagaimana cara penyusunan Fresh Fruit Bunches (FFB) di lapangan
 Bagaimana administrasi di lapangan
 Bagaimana administrasi pengangkutan
 Bagaimana menghitung premi pemanen
2. Perawatan (Up Keep)
 Spraying : circle, stenoclaena, lalang (dosis, konsentrasi, bahan aktif, kalibrasi, knapsack, micron herbi)
 Weeding circle manual, selective weeding, creeper weeding, banana/keladi, posioning
 Pemupukan (manuring) (jenis pupuk, cara memupuk, waktu, serta alat yang digunakan)
 Pembersihan Pelepah (pruning) tanaman menghasilkan dan tanaman belum menghasilkan (mature dan immature)
 Perawatan jalan (up keep road)
3. Pengendalian hama dan penyakit (pest and disease)
Ganoderma boninense
Oryctes rhinoceros
Ulat api dan ulat kantong
Tikus
(materi kegiatan dapat pada lampiran 3)
c. Asistensi
Data-data yang telah dikumpulkan dianalisa dan diperiksa oleh pembimbing lapangan
d. Penulisan Laporan PKL
Penulisan laporan PKL dilakukan setelah data-data yang diperlukan telah diperoleh dengan baik.


















KEGIATAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

A. Kegiatan Pembibitan
Pembibitan adalah tahap awal kegiatan budidaya kelapa sawit yang berperanan penting dan sangat berpengaruh terhadap kinerja budidaya kelapa sawit selama umur ekonomisnya. Tujuan pembibitan untuk menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang tersedia saat lahan tanam telah disiapkan (Purba, dkk. 2008)
PT. Kerasaan Indonesia melakukan pembibitan sendiri untuk mendapatkan bibit yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan prosedur manajemen perkebunan. Pembibitan (nursery) dilakukan pada areal 3 hektar berada di dekat kantor PT. Kerasaan Indonesia.
1. Sistem Pembibitan
Pembibitan tanaman kelapa sawit umumnya dikenal 2 sistem:
1. Sistem pembibitan 1 tahap (single stage nursery)
2. Sistem pembibitan 2 tahap (double stage nursery)
Sistem pembibitan 1 tahap adalah kecambah langsung ditanam pada polybag besar yang telah berisi tanah lapisan atas (top soil) dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 3 : 1 seberat ± 17,5 kg disusun di lapangan dengan jarak tanam 90 cm x 90 cm x 90 cm. Sedangkan sistem pembibitan 2 tahap, kecambah ditanam di polibag kecil terlebih dahulu dan setelah + 3 bulan baru dipindahkan ke polibag besar. Di Perkebunan Kerasaan menggunakan sistem pembibitan 1 tahap (single stage nursery).

2. Pengisian Polibeg
Polibeg yang digunakan berwarna hitam, tahan lapuk dan diberi lubang 4 baris berselang seling di bagian sisi polibeg yang terletak 5 cm dari dasar polibeg. Polibeg harus bermutu baik dan dapat bertahan selama 10-14 bulan di pembibitan. Ukuran polibeg tebal 0,15 mm, diameter 38 cm dan tinggi 55 cm.
Pengisian polibeg dilakukan satu minggu sebelum penanaman kecambah. Polibeg diisi dengan tanah lapisan atas (top soil), kapasitas lapang yang baik, bertekstur sedang, berstruktur lemah, lempung gembur dengan kadar pasir tidak melebihi 50 % dan terhindar dari kontaminasi (pelarut, residu bahan kimia dan inokulum bahan penyakit).
Tanah yang ada teksturnya kurang baik, maka dapat ditambahkan 40 % pasir sungai yang kasar sebelum pengisian polibeg. Tanah diisi ke dalam polibeg sampai berukuran + 46 cm dari dasar polibag. Polibeg yang telah diisi di susun segitiga sama sisi dengan jarak 90 cm x 90 cm x 90 cm dan disiram sampai jenuh tiap 2 hari sekali dan diadakan penambahan tanah sampai ukuran seperti semula.
3. Pemeliharaan Pembibitan
a. Penyiraman
Penyiraman dimulai pada saat penanaman kecambah dilakukan sampai bibit dipindahkan ke lapangan. Kegiatan ini dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Alat yang digunakan adalah alat penyemprot (sprinkler) yang dibantu dengan tekanan pompa air agar jangkauan sprinkler lebih jauh.

Gambar 3. Penyiraman dipembibitan dengan menggunakan alat penyemprot (sprinkler)
Sumber : Foto langsung


b. Sanitasi gulma
Sanitasi gulma dilakukan dengan mencabut gulma-gulma yang tumbuh di dalam maupun di luar polibeg secara manual. Alat yang digunakan antara lain cangkul, garpu atau tangan. Sanitasi bertujuan untuk membersihkan gulma-gulma dan menggemburkan tanah. Rotasi dilakukan sekali dalam sebulan atau sesuai dengan pertumbuhan gulma sampai bibit berumur 6-8 bulan.

c. Pemupukan
Pupuk yang digunakan adalah jenis NPK dan Kiserit. Pemberian pupuk NPK dilakukan pada awal bulan dan dimulai sejak bibit berumur 1 bulan sementara pemberian pupuk kiserit dilakukan pada pertengahan bulan dan dimulai setelah bibit berumur 5 bulan. Dosis pemupukan dapat dilihat pada Lampiran 4


Gambar 4. Kegiatan pemupukan di pembibitan
Sumber: Foto langsung
4. Seleksi di Pembibitan
Seleksi bibit bertujuan untuk menghindari terangkutnya bibit abnormal ke lokasi penanaman. Bibit abnormal dapat disebabkan oleh faktor genetis, kesalahan kultur teknis atau oleh serangan hama dan penyakit. Seleksi bibit dilakukan setelah bibit berumur 3 bulan. Seleksi dilaksanakan tiap 3 bulan selama 4 x dan hasil seleksi yang tidak lulus harus dimusnahkan. Kriteria bibit yang di seleksi adalah bibit abnormal antara lain : pelepah muda lebih pendek dari pelepah yang tua, tinggi bibit dibawah rata-rata, daun tidak mau membuka atau sempit bergulung, anakan daun sangat rapat atau jarang dan bibit yang terkena penyakit bercak daun (Curvularia, Helminthosporium, Corticium, dan Antraknosa).

Gambar 5. Tanaman yang diseleksi akibat terkena penyakit
Sumber: Foto langsung
5. Pengendalian Hama dan Penyakit di Pembibitan
Pengendalian hama dan penyakit pembibitan kelapa sawit di PT. Kerasaan Indonesia menggunakan pestisida. Aplikasi pestisida dilakukan secara manual dengan menggunakan alat semprot gendong (knapsack sprayer).
Hama yang sering menyerang bibit kelapa sawit antara lain belalang (grasshoppers), jangkrik (crickets), orong-orong (mole crickets), Apogonia sp. Adoretus sp. Pengendalian hama ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida Delta 25 EC bahan aktif delta metrin 25 g/l. Konsentrasi yang digunakan disesuaikan tingkat serangan, pada tingkat serangan rendah konsentrai yang digunakan 15 cc/15 l air dan bila serangan tinggi konsentrasi 30 cc/15 l air. Aplikasi dilakukan satu kali dalam satu bulan.

Gambar 6. Penyemprotan pestisida di pembibitan
Sumber: Foto langsung
Penyakit yang menyerang bibit kelapa sawit tidak begitu banyak, tapi dapat berdampak besar terhadap bibit apabila tidak dikendalikan. Penyakit-penyakit tersebut antara lain Curvularia, Helminthosporium, Corticium, dan Antraknosa. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan meyemprot fungisida Dithane M-45 bahan aktif mancozeb 80%. Penyemprotan dilakukan dua kali dalam satu bulan. Konsentrasi yang digunakan 30 cc/15 l air.
6. Perbanyakan Leguminosa Penutup Tanah
Tanaman kelapa sawit akan terbuka selama 3-4 tahun sehingga tanah disekitarnya perlu ditutupi. Leguminosa Penutup Tanah di tanam bertujuan untuk
- mengendalikan erosi
- memperbaiki kondisi tanah.
- mengurangi temperatur tanah, infiltrasi air yang lebih cepat dan mengurangi aliran permukaan.
- merangsang berkembangnya tumbuhan/hewan mikro dan makro pada tanah.
- menyediakan N hasil fiksasi N2 dari udara ( < 3000 kg N/ha/tahun) - pengendalian hama (menghambat kumbang badak berkembang biak pada batang sawit yang tumbang) - pengendalian gulma akibat adanya kompetisi dengan LCC (legominosa cover crop) Stek susu (grifting) adalah stek bagian tanaman yang tidak dipisah atau dipotong dari tanaman induknya. Stek dilakukan dari leguminosa yang tumbuh di dekat pembibitan. Kegiatan dimulai dengan mencari sulur tanaman Mucuna yang agak dewasa dan panjang. Sulur dekat buku di tekuk 4-5 kali tekukan lalu ditanam ke dalam polibeg yang telah diisi tanah. Sistem ini dinamakan stek susu (grifting). Stek dapat dipanen atau dipindahkan ke polibeg yang lebih besar setelah berumur 30 hari. Gambar 8. Perbanyakan Stek susu(kanan), perbanyakan dengan pembibitan pada polibeg kecil Sumber : Foto langsung B. Pengendalian hama dan penyakit (pest and disease) Di PT. Kerasaan Indonesia hama utama dan penyakit yang menyerang kelapa sawit yaitu: ulat api (Setothosea asigna), tikus, kumbang badak (Oryctes rhenoceros) dan penyakit busuk batang (Ganoderma). Serangan hama dan penyakit ini merugikan perusahaan sehingga dilakukan pengendalian. Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan antara lain: A. Hama 1. Ulat api (Setothosea asigna) a. Kegiatan Sensus Setothosea asigna di Block H 9-10 Kegiatan sensus adalah suatu kegiatan pendahuluan untuk menentukan langkah pengendalian hama di lapangan. Penentuan pohon sampel pertama ditentukan yaitu baris keempat dan pohon keempat dari salah satu sudut blok. Sampel daun yang diambil dalam sensus ini adalah daun ke-9 daun yang dipotong dibalikkan lalu dihitung jumlah ulat api yang ada dipelepah daun untuk menentukan pohon sampel selanjutnya di hitung 10 baris dari sampel 1 dan untuk sampel berikutnya 15 baris dari sampel 3. Hasilnya dicatat pada formulir sensus (dapat dilihat pada lampiran 5) Apabila dititik sampel ditemukan larva kecil maka pengendalian dilakukan seminggu setelah sensus. Jika larva berukuran sedang dan besar maka pengendalian dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari pembentukan kokon. b. Kegiatan pengendalian Setothosea asigna dengan fogging Pengasapan (Fogging) bertujuan untuk mengendalikan ulat api dan ulat kantong. Kegiatan pengendalian Setothosea asigna yang dilakukan di perkebunan adalah dengan metode fogging yang dilakukan pada malam hari sekitar pukul 18.00 sampai dengan selesai hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas pengendalian. Adapun insektisida yang digunakan adalah Delkis 25 EC bahan aktif deltametrin 25 g/l, Besmur 200 AS bahan aktif poliosietilen alkileter 200 g/l dengan dosis 200 cc/ha, dicampur dengan solar 50 l/ 80 ha dan emulgator 1,6 l/80 ha. Hasil pengendalian ini dapat dilihat setealah satu malam dimana larva ulat jatuh di bawah gawangan tanaman. Hal ini kurang sesuai dengan yang dikemukakan oleh wahyu (2004) yang menyatakan bahwa pengendalian kimia kurang efekti karena selain dapat merusak lingkungan juga akan dapat menyebabkan residu pestisida pada hasi produksi. a b Gbr. a) Larva yang jatuh akibat fogging b) Kokon yang terserang Cordyceps sp Sumber : Foto Langsung 2. Tikus Kegiatan pemasangan racun tikus klerat RMB Serangan tikus pada tanaman muda dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian tanaman tesebut sehingga perlu untuk dikendalikan. Kegiatan pengendalian hama tikus di Perkebunan PT.Kerasaan Indonesia adalah dengan menggunakan innsektisida klerat RMB bahan aktif bridivacum 0,005 %. Aplikasi diawali dengan dengan pengamatan gejala serangan di lapangan. Dalam aplikasi racun klerat harus menggunakan sarung tangan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kontaminasi pada klerat (mencegah efek jera umpan tikus) karena penciumannya yang sangat tajam. Klerat diletakkan dua potongan per pohon kelapa sawit jarak antara pohon kelapa terhadap potongan klerat ± 30 cm. peletakan batangan klerat diusahakan kearah gawangan mati. Pengendalian dengan klerat RMB sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purba, dkk. (2008) bahwa pengendalian tikus apabila populasinya tinggi maka perlu dilakukan pengendalian dengan umpan beracun seperti Klerat RMB dan Timin yang dipasang 1- 3 umpan per pohon. Gbr. Gejala Serangan Tikus Sumber : Foto Langsung 3. Kumbang badak (Oryctes rhinoceros ) Meskipun pestisida banyak mempunyai keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya dan menguntungkan secara ekonomi, namun dampak negatif penggunaan semakin lama semakin dirasakan masyarakat. Pengendalian O. Rhinoceros dengan feromon sintetik dapat menangkap O. rhinoceros dalam jumlah besar mencapai rata-rata 25 ekor/minggu pada satu perangkap. Secara hayati pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan menggunakan M. Anisopliae dan Baculovirus oryctes (Untung, 2001) a. Kegiatan pengendalian Oryctes rhinoceros Dengan Marsahal 5 GR. Pengendalian hama kumbang badak di Perkebunan PT. Kerasaan Indonesia selain menggunakan feromon juga menggunakan insektisida butiran Marshal. Aplikasi Marshal 5 GR dengan bahan aktif Karbosulfan 5% dilakukan pada tanaman muda dengan interval 2 bulan sekali. Aplikasi dilakukan pada titik tumbuh tanaman dengan dosis 5 gr / pohon. Hasil aplikasi ini dapat dilihat setelah satu hari aplikasi. b. Pengendalian Oryctes rhinoceros dengan pemasangan perangkap feromon Kegiatan pemasangan perangkap dilakukan pada sore hari kira-kira pukul 17.00 hal ini bertujuan untuk efesiensi perangkap karena hama ini bersifat nokturnal. Pemasangan dilakukan dengan menggantungkan perangkap di gagangan kaleng perangkap. Gbr. Perangkap Oryctes rhinoceros Sumber ; Foto Langsung c. Pengamatan hasil pemasangan feromon Oryctes rhinoceros Pengamatan dialakukan pada pagi hari dengan cara menurunkan kaleng perangkap. Hama yang tertangkap dikumpulkan dalam satu stoples dan feromon diambil kembali. Dalam pengumpulan hasil ini Oryctes rhinoceros jantan dan betina dihitung. Pada pengamatan di PT. Kerasaan Indonesia hama yang paling banyak tertangkap adalah serangga betina B. Penyakit Kegiatan sensus Ganoderma sp Tahapan-tahapan kegiatan sensus Ganoderma di PT. Kerasaan Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Dihitung jumlah pokok dalam satu baris pada blok yang akan disensus 2. Dilakukan pemetaan pada kertas sensus Ganoderma (stiplem card) sesuai dengan jumlah pokok dan baris pada block tersebut. Contoh stiplem card Lampiran 6 3. Diberi warna pada keterangan kertas sensus Ganoderma (stiplem card) sesuai dengan skala serangan sebagai berikut :  Skala 1 (diberikan warna hijau) dengan ciri-ciri : - Daun tombak 2 pelepah tidak terbuka - Belum terdapat badan buah (fruiting body) pada batang  Skala 2 (dibubuhi warna kuning) dengan ciri-ciri - Terdapat satu badan buah ( fruiting body) pada batang tanaman - Daun tombak dua tidak membuka  Skala 3 diberi warna merah dengan ciri-ciri - Terdapat daun tombak lebih dari dua - Jumlah fruiting body pada batang tanaman lebih dari satu  Mati berdiri diberi tanda warna merah dengan garis ditengah dengan ciri - Batang tanaman sudah patah ditengah maupun pucuk - Tanaman tinggal daun tombak saja - Tanaman tidak mempunyai buah lagi 1. Pada salah satu sisi batang diberikan tanda sesuai dengan warna skala yang meliputi tahun dan bulan sensus X : Pohon yang telah terserang sesuai skala 07 : Bulan sensus 09 : Tahun sensus Penandaan warna juga dilakukan di lapangan pada pokok kelapa sawit sesuai dengan kondisinya di formulir sensus. Sensus dilakukan 1 tahun sekali. Sedangkan untuk pohon sisipan diberi tanda yang berbeda sesuai dengan tahun tanam sisipan. Tanda yang diberikan, yaitu: Warna biru diberi angka I untuk sisipan tahun tanam 2000-2004 Warna biru diberi angka II untuk sisipan tahun tanam 2005 Warna biru diberi angka III untuk sisipan tahun tanam 2006 Warna biru diberi angka IV untuk sisipan tahun tanam 2007 Warna biru diberi angka V untuk sisipan tahun tanam 2008 Gbr. Tanda skala Ganoderma Sumber : Foto Langsung Pengendalian penyakit Ganoderma boninense di PT. Kerasaan Indonesia sampai saat ini belum ada yang efektif. Pemakain jamur antagonis seperti Tricoderma masih dalam tahap percobaan. C. Perawatan (up keep) Tanaman kelapa sawit akan berproduksi optimal jika dipelihara dengan baik. Pemeliharaan pada tanaman kelapa sawit meliputi pengendalian gulma, pemupukan, pemeliharaan jalan serta pengendalian hama dan penyakit (Purba, dkk. 2008) 1. Pengendalian gulma di piringan (spraying circle) di Block B 11-12 Piringan pohon harus bebas dari gulma yang bertujuan untuk memudahkan pegumpulan brondolan dan meningkatkan efektifitas pemupukan. Pengendalian gulma di piringan pohon dapat dilakukan secara manual maupun secara kimia (Purba, dkk. 2008 ) Pengendalian gulma di piringan pohon di PT. Kerasaan Indonesia adalah dengan cara kimia. Alat-alat yang digunakan micron herby, knapsack dan bahan yang digunakan adalah herbisida Smart 486 AS bahan aktif Isopromina glisofat 486 gr/l, Metsul bahan aktif metil metsulfuron 24% sebagai bahan perekat (sistemik) yang mengandung gas Campuran herbisida yang digunakan di lapangan adalah 1 liter Smart bahan aktif Isopromina glisofat 486 gr/l dilarutkan dengan 1 liter air ditambah 20 gr Metsul bahan aktif metil metsulfuron 24% (Perekat) 1`dosis yang digunakan adalah 500 cc/ 5 liter air = 100 cc/liter air. Penyemprotan dilakukan secara Zig-zag dalam satu pasar pikul dengan sekali putaran setiap tanaman. Jarak antara nozzle dengan pokok kelapa sawit adalah sekitar 0,5 m dengan tinggi nozzle setinggi lutut. Volume semprot piringan (circle) adalah 5 l/± 170 piringan. Penyemprotan lalang dilakukan secara bersamaan jika ditemukan di gawangan mati. Interval penyemprotan adalah 1 kali dalam 3 bulan. Setelah satu minggu penyemprotan dilakukan monitoring ke lapangan guna melihat efektifitas herbisida yang dipakai. 2. Pengendalian Gulma Stenoclaena Gulma Stenoclaena merupakan gulma jenis pakis-pakisan yang sulit dikendalikan dan dapat tumbuh di batang sawit dan di tanah. Gulma ini dapat menghambat kegiatan panen dan merugikan bagi tanaman sehingga perlu dikendalikan. Keberadaan gulma ini hidup berkelompok dan terpisah-pisah sehingga penyemprotan dilakukan secara terpisah-pisah. Pengendalian Stenoclaena dilakukan secara kimia dan manual. Stenoclaena yang tumbuh di batang sawit dikendalikan secara manual menggunakan egrek (dilakukan pada saat pruning) dan yang tumbuh di tanah dikendalikan dengan kimia. Alat semprot yang digunakan adalah knapsack dan herbisida yang digunakan herbisida kontak Gramoxone bahan aktif parakuat diklorida yang di campur dengan bahan perekat Metsul. Dosis dan konsentrasi sesuai dengan penyemprotan piringan tanaman menghasilkan. 3. Kegiatan penyemprotan piringan (spraying circle) Pada Tanaman Muda Penyemprotan pada piringan tanaman muda bertujuan untuk efektifitas pemupukan dan memudahkan proses kastrasi. Pengendalian gulma dipiringan tanaman muda di PT. Kerasaan Indonesia adalah dengan penggunaan herbisida smart. Herbisida yang digunakan adalah Smart 486 SL isopromina glisofat 486 gr/l dengan konsentrasi 110 cc/ 15 liter air dengan dosis 450 cc/ha. Penyemprotan dilakukan dengan diameter piringan 3 meter dilakukan berjalan biasa dengan sistem zig-zag volume semprot yang digunakan adalah adalah 75 l/ ha. 4. Kegiatan creeper weeding Kegiatan creeper weeding adalah kegiatan yang dilakukan pada tanaman muda untuk memotong tanaman yang menjalar atau melilit ke batang maupun daun tanaman seperti Mucuna sp. Kegiatan ini dilakukan pada tanaman muda satu kali dalam satu bulan 5. Pengendalian gulma anak kayu Selain gulma rambat dan pakis-pakisan terdapat juga gulma anak kayu yang dapat merugikan tanaman sawit dan menghambat kegiatan-kegiatan dalam kebun. Gulma ini dapat tumbuh di batang sawit dan di tanah keberadaannya terpisah-pisah, sehingga dalam pengendaliannya dilakukan terpisah-pisah. Pengendalian gulma anak kayu yang kecil yang tumbuh di tanah dilakukan dengan menggunakan alat cangkul. Pencangkulan anak kayu dilakukan secara terpisah-pisah. Semua tumbuhan anak kayu yang tumbuh pada areal tanaman kelapa sawit dicangkul mulai dari pinggir sampai gawangan mati. Pengendalian dilakukan 6 bulan sekali. Gambar 12. Pengendalian gulma anak kayu dengan menggunakan cangkul Sumber : Foto langsung Pengendalian anak kayu yang berukuran besar dan tumbuhnya di batang sawit dilakukan secara kimia. Alat yang digunakan adalah arit untuk melukai akar atau pangkal batang anak kayu, kuas utuk alat megoleskan herbisida, kayu dengan panjang 2 meter untuk gagang kuas dan pisau egrek, botol kemasan herbisida sebagai tempat herbisida. Herbisida yang digunakan adalah herbisida Garlon bahan aktif triklopir 480 g/l) dicampur dengan solar dengan perbandingan 1 : 20. Gambar 13. Akar gulma anak kayu yang telah dilukai (kiri) dan akar diolesi dengan herbisida (kanana) Sumber : Foto langsung Aplikasi dilakukan dengan mencari anak kayu yang yang terdapat di tanah atau menempel dan membelit tanaman kelapa sawit. Anak kayu yang terdapat di tanah dilukai keliling pangkal batang panjangnya + 10 cm dan untuk gulma yang terdapat di batang sawit yang dilukai adalah akarnya, setelah dilakukan pelukaan diolesi dengan herbisida. Pengamatan dilakukan 5 hari setelah aplikasi apakah tumbuhan tersebut mati atau tidak. 6. Pengendalian Banana (Pisang) dan Keladi Pisang dan keladi biasanya tumbuh di perkebunan kelapa sawit pada pinggiran aliran drainase. Tanaman ini tumbuh secara berkelompok disepanjang aliran drainase akibatnya dapat menghambat sistem drainase di kebun sehingga harus dikendalikan. Herbisida yang digunakan adalah Smart 486 AS bahan aktif isopromina glisofat 486 gr/l . Aplikasi dilakukan dengan merendam tusuk gigi selama 24 jam dalam Smart murni. Tujuannya adalah agar herbisida terserap oleh tusuk gigi tersebut. Tusuk gigi yang telah direndam ditusukkan pada keladi dekat pangkalnya sebanyak 3 tusuk/tanaman dengan ketinggian ± 10 cm dari pangkal batang. Sedangkan aplikasi pada pisang liar (Musa sp.) batang terlebih dahulu dipotong ± 15 cm lalu diolesi herbisida pada permukaan batang semu. 7. Pemupukan Tambahan (extra manuring) Tujuan pemupukan adalah menyediakan kebutuhan hara bagi tanaman sehingga tanaman akan tumbuh dengan baik dan akan berpotensi secara maksimal. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang sangat tergantung pada pemupukan untuk mencapai produksi yang tinggi, untuk itu perlu di beri pupuk tambahan (exstra manuring). Tujuan dari pemupukan tambahan adalah memberikan zat hara yang dibutuhkan tanaman dalam membangun jaringan akar, pembangunan tubuh tanaman , daun dan buah. Exstra manuring dilakukan 3 bulan setelah pemupukan utama. Pupuk yang digunakan Urea dengan dosis 300 g/pohon. Pupuk ditabur dengan menggunakan takaran (mangkok) yang isinya berukuran 300 g. Pupuk ditabur di sekeliling piringan kelapa sawit secara merata. Lokasi pemupukan dapat dilihat pada lampiran 7 Gbr. Cara Pemupukan Sumber : Fota langsung Jumlah total pupuk = dosis x Jumlah tanaman yang dipupuk. Setelah pemupukan goni diberi nomor untuk mencegah kehilangan pupuk di lapangan. 8. Pembersihan pelepah tua (prunning) Kegiatan prunning merupakan kegiatan pembuangan pelepah yang sudah tua baik pada tanaman belum menghasilkan (immature) maupun pada tanaman menghasilkan (mature). Pada tanaman muda prunning dilakukan pada saat pangkal tanaman telah besar. Prunning pada tanaman muda dilakukan untuk mempermudah pengutipan brondolan. Dalam pelaksanaan prunning pemotongan pelepah tetap pada sistem 2 songgo ( terdapat dua pelepah daun di bawah buah). Sedangkan pada tanaman tua prunning dilakukan biasanya bersamaan pada waktu panen 9. Perawatan jalan (up keep road) Perbaikan jalan bertujuan untuk mempertahankan agar proses pengangkutan hasil produksi kelapa sawit tetap melalui jalan produksi. Perawatan yang dilakukan antara lain membersihkan gulma yang tumbuh di jalan produksi dan pembuatan gorong-gorong Kegiatan ini dilakukan dengan bantuan JCB (bachoe loader) yang digunakan untuk mengorek tanah dalam pembuatan gorong-gorong. Gorong-gorong yang digunakan berdiameter 60 cm dengan diameter lubang 40 cm. Pembuatan gorong-gorong ini bertujuan untuk memperbaiki drainase air parit juga berfungsi untuk memperlancar transportasi produksi. D. Panen (Produksi) Panen adalah pemotongan tandan dari pohon hingga pengangkutan ke pabrik. Panen buah harus berorientasi terhadap kematangan buah yang optimum, buah mengandung minyak dengan kernel optimum dengan kulaitas baik, brondolan bersih, buah tidak menginap sebelum ke pabrik (Purba, dkk. 2008) 1. Penentuan Kriteria Panen Penentuan kriteria panen bertujuan untuk mendapatkan rendeman yang diinginkan serta menghindari naiknya kadar asam lemak bebas (ALB) pada hasil panen kelapa sawit. Kriteria panen menurut PT. Kerasaan Indonesia adalah sistem 2 kali conmidol yaitu dalam 1 kg Fresh Fruit Bunches (FFB) terdapat 2 buah brondolan. Diharapkan brondolan adalah 10 % dari total FFB. Kriteria buah masak di PT. Kerasaan Indonesia dapat dilihat pada lampiran 8 2. Cara menentukan kriteria panen dilapangan Cara-cara menentukan kriteria panen di lapangan dilakukan a. Pada musim hujan bila terdapat sekitar 20 -30 biji brondolan di piringan maka panen dapat dilakukan b. Pada musim kemarau jumlah brondolan di piringan berkisar 30-40 biji Pada pemanenan di lapangan sering terjadi kehilangan hasil di lapangan yang disebabkan oleh adanya brondolan yang tertinggal di piringan maupun TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) 1 kg brondolan terdiri dari 50 – 60 biji sistem pemanenan yang dilakukan adalah sistem acak giring tetap. 3. Pelaksanaan Panen Dalam pelaksanaan pemanenan harus dipersiapkan terlebih dahulu alat-alat panen. Adapun alat-alat panen yang digunakan di PT. Kerasaan Indonesia adalah :  Egrek tajam  Bambu sebagai gagangan egrek  Ganjur untuk alat bantu mengangkat Fresh Fruit Bunches (FFB) ke kampil  Kampil adalah goni yang diikatkan pada sepeda yang berfungsi sebagai tempat buah  Sepeda sebagai alat angkut  Tali dan kampak untuk mengikat kampil dan memotong pelepah daun Cara Panen di devisi I Block B 6-10 Cara panen dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut ini  Pelepah daun dipotong dekat ketiak daun yang terdapat di bawah buah masak  Buah yang akan dipanen dipotong pada tangkai buah  Pelepah daun dipotong menjadi tiga bagian dengan kampak dan ditumpukkan di sebelah tanaman yang baru dipanen (pada gawangan mati)  Buah diangkat ke dalam kampil pakai ganjur (alat bantu mengangkat buah ke kampil)  Berondolan pada piringan dikutip dan dimasukkan ke dalam karung goni  Buah dan berondolan diangkut ke TPH dengan sepeda melalui pasar pikul  Sebelum Fresh Fruit Bunches (FFB) disusun di TPH tangkai buah dipotong sehingga tangkai tinggal ± 1 inci dari buah a b Gbr. a) Cara Pelaksanaan Panen b)Pengangkutan ke TPH Sumber : Foto Langsung 4. Cara Penyusunan Fresh Fruit Bunches (FFB) di Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) Buah yang baru dipanen akan diangkat ke TPH yang bertujuan mempermudah pengumpulan hasil oleh truk ke pabrik. Penyusunan FFB di TPH dilakukan sebagai berikut Penyusunan FFB di TPH dilakukan dengan sistem 5 FFB (janjangan) dalam satu baris, yang dilakukan untuk kemudahan menghitung janjangan oleh kerani Setelah FFB disusun pemanen memberi tanda penulisan nomor di permukaan pemotongan tangkai buah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui hasil panen dari seseorang pemanen dan nama pemanennya Jika pada TPH tangkai buah ditandai dengan nomor dan terdapat garis bawah di bawahnya berarti pemanen bersifat FL (Free Labour) Gbr. Penyusunan FFB di TPH Sumber :Foto Langsung 5. Cara menentukan kelapa sawit yang siap di panen pada tanaman baru panen (new mature) Penentuan kelapa sawit yang siap panen pada new mature adalah sebagai berikut : a. Dilakukan pemeriksaan di lapangan oleh mandor setelah proses kastrasi berhenti b. Pemeriksaan buah di lapangan dilakukan secara acak c. Pemanenan new mature dilakukan setelah 60 % tanaman sampel sudah layak panen d. Layak panen pada new mature dapat dilihat jika terdapat 4-6 buah brondolan di piringan 6. Administrasi di Lapangan Administrasi di lapangan adalah kegiatan untuk mencatat hasil produksi di lapangan secara langsung. Administrasi di lapangan dilakukan oleh kerani, dengan menghitung jumlah tandan buah yang dipanen oleh masing-masing pemanen disetiap TPH. Jumlah berondolan juga dicatat dengan cara penaksiran berat berondolan yang dimasukkan ke dalam karung. Berat satu karung berondolan ± 30-40 kg. penaksiran berat brondolan menggunakan stik yaitu setiap 5 cm seberat 5 kg. Hasil panen yang diperoleh free labour dicatat pada hasil yang diperoleh oleh karyawan tetap Setelah kerani mencatat jumlah tanda buah dan berondolan yang dipanen oleh setiap pemanen selanjutnya dicatat totalnya dalam surat pengantar (SP) yang akan dibawa oleh supir truk ke POM (Palm Oil Mill). Kemudian ditimbang lagi di POM untuk dimasukkan ke dalam laporan produksi harian yang disetujui oleh Field Asistant (FA), Field Head Asistant (FHA), dan Estate Manager (EM) yang kemudian dibawa ke kantor. Contoh laporan adminisrtasi lapangan dapat dilihat lampiran 8 7. Administrasi Pengangkutan Administrasi pengangkutan bertujuan untuk mensikronisasikan administrasi di lapangan dan juga administrasi di pabrik kelapa sawit. Pengangkutan tandan buah dan berondolan yang telah dikumpulkan di TPH ditentukan oleh kerani. Pada TPH buah dimasukkan kedalam truk. Setelah mobil penuh maka kerani menghitung total tandan buah dan berondolan yang diangkut. Kerani juga mencatat apabila masih ada FFB yang tetinggal di TPH terakhir. Kemudian kerani membuat Surat Pengantar (SP) yang didalamnya dicatat jumlah FFB dan berondolan yang diangkut, nama sopir, kernet dan nomor polisi mobil. Kemudian ditandatangani kerani dan asisten devisi, Surat Pengantar ini dibuat rangkap tiga. Kemudian satu SP diserahkan kepada supir dan dua SP lagi tinggal pada kerani. Setelah mobil kembali dari Palm Oil Mill (POM) supir akan membawa kembali SP dan jumlah FFB harus sama. 8. Cara Menghitung Premi Pemanen Penghitungan premi pemanen bertujuan untuk mengetahui jumlah produksi buah yang dipanen oleh pemanen dalam satu bulan serta menghitung total premi yang mereka dapatkan. Penghitungan premi pemanen dilakukan dengan tahapan berikut : 2. Dihitung jumlah produksi sebagai berikut Jumlah Produksi = Jumlah Tandan x Conmidol Tahun Tanam 3. Ditentukan standart borong berdasarkan rumus Jumlah standard borong = Jumlah HK (Hari Kerja) x Standar Borong tahun tanam 4. Dihitung Jumlah Produksi dibayar dengan rumus Jumlah Produksi Dibayar = Jumlah Produksi - (J. Brondolan + J. standar borong) 5. Premi di bayar dhitung dengan rumus Premi Dibayar = Jumlah produksi dibayar x Premi/Kg. Sistem premi yang digunakan di PT. Kerasaan Indonesia adalah sistem premi bertingkat, yaitu Tingkat I. = ≤ 200 Kg x Rp. 15,81 II. = 200-300 Kg x Rp. 23,72 III. = > 300 Kg x Rp. 31,62
Premi yang didapat oleh pemanen adalah total sebagai berikut
Total premi yang diterima = (J. Premi FFB + J. Premi Brondolan) – Denda
Jumlah premi brondolan adalah = Jumlah brondolan x Rp. 120,00 /kg
Sistem Pendendaan pada Pemanen
1. Panen buah mentah = Rp1000/tandan
2 Brondolan tidak dikutip = Rp 1000/hari
3. Buah masak tidak dipanen = Rp1000/tandan
4. Pelepah gantung dipohon atau dipotong
tidak mepet = Rp 250/pohon
5. Perumpukan pelepah tidak baik = Rp 500/perumpuk
6. Tangkai tandan buah panjang ( >1 inci) = Rp 50/tandan
7. Tidak mengikuti ancak dan tidak menyelesaikan
ancak = Rp1000/pemanen





KESIMPULAN DAN SARAN



Kesimpulan


1. Hama dan penting di perkebunan PT. Kerasaan Indonesia adalah ulat api (Setothosea asigna), ulat kantong (Metisa plana) serta kumbang badak (Oryctes rhinoceros)
2. Penyakit penting di perkebunan PT. Kerasaan Indonesia adalah penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma boninense)
3. Pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit di PT. Kerasaan Indonesia dilakukan secara kimia kecuali untuk hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros)
4. Feromon Oryctes rhinoceros lebih efektif untuk kumbang badak betina
5. Penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma boninense) di PT. Kerasaan Indonesia hingga saat ini belum dapat dikendalikan

Saran
Untuk menciptakan produksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan PT. Kerasaan Indonesia disarankan untuk melaksankan konsep PHT (Pengelolaan Hama Terpadu). Seperti pada pengendalian hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros



DAFTAR PUSTAKA
Hadi, M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.

Prima Tani, 2006. Kelapa Sawit. http://primatani.litbang.deptan.go.id Diakses 3 Agusutus 2009.

Purba, Razak. Akiyat, Edy Sigit Sutarta, Agus Sutanto, Amir Purba, Condro Utomo, Donald Siahaan, Edy Suprianto, Lukman Fadli, Rolettha, Sudharto, Winarna, Yurna Yenni, Sugiyono, Suroso Rahutomo. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan

Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2009. Penyakit Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense) dan Pengendaliannya. http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/psawit06.pdf. Diakses pada 1 September 2009


Risza, S. 1994. Kelapa Sawit dan Upaya Peningkatan Produktifitas. Kanisius Yogyakarta.

Samhadi, H. S. 2006. Sawit dan Ambisi Nomor satu Dunia. Available at: http://www.kppu.go.id. Tanggal: 5 September 2009

Suroso I.A. Kudang B. S. dan P. Satriawan. 2003. Pengenbangan Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. http://ipb.ac.id/docs/jma_online pdf_. Diakses pada 1 september 2009.

Susanto, A, R.Y. Purba dan C. Utomo, 2005. Penyakit-Penyakit infeksi Pada Kelapa Sawit. Buku 1, PPKS, Medan.

Untung, K., 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Uiversity Press, Yokyakarta

Wahyu, 2004. Pemanfaatan Jamur Entomopatogen. Kanisius, Yogyakarta
Yanti, F dan Susanto. A, 2003. Cara Praktis Isolasi Tubuh Buah Ganoderma boninense Pada Medium PDA. http://www.info.pngopra.org.pg. Diakses 22 agustus 2009



Praktek Kerja Lapangan

Pengendalian Hayati

PENDAHULUAN

Latar Belakang


Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, dan salah satu kebutuhan primer tersebut adalah makanan. Dalam sejarah, hidup manusia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan bahan makanan pokok. Kita mengetahui bahwa nasi merupakan salah satu bahan makanan pokok yang mudah diolah, mudah disajikan, enak serta nilai energi yang terkandung di dalamnya tinggi sehingga berpengaruh besar terhadap aktivitas tubuh dan kesehatan. Badan yang sehat akan lebih mampu menyelesaikan tugas dengan baik, terutama pekerjaan yang menggunakan tenaga badan (AAK, 1990)
Dewasa ini padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok dari setengah penduduk dunia. Luas aeralnya sekitar seratus 100 juta hektar, dan lebih dari 90 % - nya terdapat di Asia Selatan, Timur dan Tenggara. Produksi totalnya sedikit dibawah gandum. Padi sudah lama diusahakan di Indonesia, khususnya di Jawa. Penaman padi disini telah dimulai sebelum datangya orang Hindu. Oleh karena itu nama – nama dan istilah – istilah yang dipakai dalam budidaya padi tidak ada yang berasal dari bahasa Sansekerta (Semangun, 2000)
Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebakan oleh cendawan, bakteri fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran jika pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman seperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak masalah hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta hama lainnya (Wiyono, 2007)
Penyakit kresek atau BLB (bacterial leaf blight) pada padi yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv oryzae menjadi penyakit terpenting dalam tiga tahun terakhir. Sepuluh tahun yang lalu penyakit ini tidak pernah dianggap sebagai penyakit penting sehingga penelitian terhadap penyakit ini menjadi kurang. Suhu optimum untuk perkembangan penyakit adalah 30 OC. Karena penularan utamanya melalui percikan air, hujan angin akan memperberat penyakit karena apabila terjadi peningkatan suhu rata – rata akan mendorong perkembangan penyakit ini. Webb dalam Garred et al, (2006) menyatakan bahwa gen ketahanan padi terhadap Xanthomonas campestris pv oryzae terekspresi lebih baik pada suhu yang meningkat (Wiyono, 2007)
Serangan penyakit pada tanaman pangan seperti hawar daun bakteri (HDB) pada padi sawah dapat menyebabkan penurunan hasil sangat bervariasi berkisar antara 20 – 30 %, bergantung pada varietas yang ditanam dan pada musim tanaman. Selama periode 1996 – 2002, hawar daun bakteri merupakan penyakit penting padi di Indonesia. Luas penularan hawar daun bakteri dilaporkan mencapai 28.766 hektar dengan puncak kejadian terjadi pada musim hujan. Dalam kurun waktu tersebut penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri) menimbulkan kerusakan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal ini terkait dengan meluasnya areal pertanaman varietas unggul yang rentan terhadap penyakit HDB. Sebagai contoh varietas unggul IR64 yang dilaporkan tahan hama wereng akan tetapi rentan terhadap hawar daun bakteri ( Suryadi dkk, 2006).
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui efektifitas bakteri Corynebacterium dengan konsentrasi yang berbeda untuk menekan pertumbuhan penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae di lapangan
2. Untuk mengetahui varietas padi yang tahan terhadap penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae di lapangan
3. Untuk mengetahui efektifitas Corynebacterium dengan konsentrasi berbeda untuk menekan pertumbuhan penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae dengan varietas yang berbeda
Hipotesa Penelitian
1. Corynebacterium dengan konsentrasi yang berbeda dapat menekan pertumbuhan penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae di lapangan
2. Terdapat varietas padi (Oryza sativa L.) yang tahan terhadap penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae di lapangan
3. Terdapat Interaksi antara varietas padi yang berbeda dan konsentrasi Corynebacterium yang berbeda terhadap serangan penyakit kresek Xanthomonas campestris pv oryzae
Kegunaan Penulisan
- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan
- Sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan




















TINAJUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi (Oryza sativa L.)


Menurut Sharma (1993) tanaman padi di klasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Monokotil
Ordo : Graminales
Family : Graminae
Genus : Oryza
Species : Oryza sativa L.
Tanaman padi mempunyai akar serabut setelah 5 – 6 hari akar serabut akan tumbuh, warna akar serabut masih muda berwarna putih sedangkan akar yang sudah tua berwarna coklat. Akar yang tumbuh dari ruas batang terendah adalah akar tajuk. Akar merupakan bagian yang tumbuh dari akar serabut yang berumur pendek yang panjangnya sama dengan akar serabut, akar ini merupakan saluran pada kulit akar yang berada pada kulit luar yang berfungsi menghisap air maupun zat – zat makanan ( AAK, 1992)
Batang padi terdiri dari susunan beberapa ruas. Tiap – tiap ruas dimulai dan diakhiri dengan buku. Pada setiap buku tampaklah satu mata. Letak mata itu pada batang tanaman adalah silih berganti. Fungsi mata ini adalah penting karena setiap mata yang tampak pada batang akan menghasilkan satu anakan. Anakan muncul pada batang utama dalam urutan yang bergantian. Anakan primer tumbuh dari buku terbawah dan memunculkan anakan sekunder. Anakan sekunder ini pada gilirannya akan menhasilkan anakan tersier (Siregar, 1981)
Daun kelopak pada daun pelepah yang terpanjang yaitu daun pelepah yang membalut ruas yan paling atas dari batang, umumnya disebut daun bendera. Tiap daun terdiri atas helaian daun yang menempel pada buku melalui pelepah daun yang membungkus ruas diatasnya. Bunga padi merupakan bunga telanjang yang mempunyai satu bakal buah, enam buah benang sari, serta dua tangkai putik. Bakal buah mengandung air (Cairan) untuk kebutuhan lodicula (daun mahkota), warnanya keunguan/ ungu tua. Benang sari terdiri dari tangkai sari, kepala sari dan kantong serbuk (AAK, 1992)
Berdasarkan bentuk gabahnya, butir padi terbagi beberapa bentuk yaitu ramping, memanjang, sedang dan gemuk. Pada pembuahan bunga padi yang menempel pada kepala putik dengan cairan yang ada di kepala putik (Siregar, 1981)

Syarat Tumbuh


Iklim
Padi dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim panas yang lembab. Dengan curah hujan yang di kehendaki pertahun sekitar 1500 – 2000 mm. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 23 0C ke atas dengan ketinggian tempat anatara 0 – 1500 meter diatas permukaan laut. Sinar matahari sangat diperlukan terutama pada saat tanaman berbunga sampai proses pemasakan buah. Sedangkan angin mempunyai arti penting terhadap proses penyerbukan dan pembuahan (AAK, 1992)
Tanah

Tanah yang baik untuk areal persawahan ialah tanah yang mampu memberikan kondisi tumbuh tanaman padi. Kondisi yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi, porositas tanah yang rendah dan tingkat keasaman tanah yang netral, sumber air alam, serta modifikasi sistem alam oleh kegiatan manusia (Suparyono dkk, 1997)
Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm. Keasaman tanah antara pH 4.0 – 7,0. Pada padi sawah penggenangan akan mengubah pH tanah menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya pH 8,1 – 8,2 tidak merusak tanaman padi (AAK, 1992)

Penyakit Kresek (Xanthomonas campestris pv oryzae)


Biologi Penyakit


Menurut Singh (2000) adapun sistematika dari bakteri Xanthomonas campestris pv oryzae adalah sebagai berikut :
Kingdom : Bacteria
Divisio : Gracilicutes
Ordo : Actionomycetes
Subordo : Pseudomonadales
Family : Pseudomonadaceae
Genus : Xanthomonas
Species : Xanthomonas campestris pv oryzae
Bakteri ini digolongkan dalam gram negatif dimana akan kehilangan warna ungu kristal ketika dicuci dengan alkohol, dan sewaktu diberi warna tandingan dengan safranin sel bakteri akan menyerap warna merah sehingga bakteri tampak berwarna merah (Pelczar, 1986)
Hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) pertama kali dilaporkan di Jepang tahun 1884, dari Jepang menyebar secara luas di Asia, Sri Lanka, Philipina serta ke Pakistan. Penyakit ini juga dilaporkan terdapat di Malagasy Afrika Selatan. Penyakit ini juga pernah diteliti oleh C. C. Chien di Ivory Coast, Liberia, Nigeria dan Afrika Barat. Sekarang penyakit ini sudah banyak di teliti di negara – negara Amerika Latin (Luh, 1980)
Di Jawa penyakit mendapat perhatian pada tahun 1984. Reitsma dan Schure (1950) dan Hormans dan Schure (1954) yang bekerja di Bogor mengira bahwa penyakit pada padi di Indonesia yang ditanganinya adalah penyakit baru, dan disebutnya sebagai penyakit ’ kresek’. Tanaman yang sakit keras menjadi busuk , dan tingkat ini disebut sebagai ’lodoh ’. Goto (1964) di Jepang mengetahui bahwa ’kresek’ adalah identik dengan hawar daun bakteri. Seterusnya secara internasional ’kresek’ dianggap sebagai tingkat yang keras dari hawar daun bakteri, yang terutama terdapat di daerah tropik (Semangun, 2000)
Xanthomonas campestris pv oryzae (Xanthomonas oryzae (Ishiyama) Dowson : Xanthomonas Kresek Schure ; Bacterium oryzae (Ishiyama) Elliot) adalah penyebab penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) pada tanaman padi. Patogen ini berukuran 0,5 – 0,8 x 1,3 – 2,2 µm yang pada medium NA koloninya tampak berbentuk bundar berwarna kuning kecoklatan (Gnananickam, 1999)
Morfologi bakteri X. oryzae adalah bentuk batang pendek dengan kedua ujungnya membulat, tanpa spora, menghasilkan pigmen yang tidak larut dalam air, motil dengan flagella monotrikus dan pada media biakan koloninya bulat, serta cembung serta warna kekuningan . Menurut Lelliot (1972) dalam Hery (1990) ciri khas genus Xanthomonas adalah koloninya berlendir, menghasilkan pigmen kuning dan pada media agar nutrien koloninya berdiameter 1-3 mm (Biakan berumur tiga hari, suhu 27 oC). Pigmen kuning tersebut dapat digunakan sebagai pembeda dari genus Pseudomonas (Hery, 1990)

Gambar 1. Patogen X. oryzae
Sumber : Yolanda Guevara y Anna Maselli, 2009


Gejala Serangan X. oryzae pv oryzae


Bakteri X. oryzae menginfeksi daun padi melalui hidatoda atau luka (Kerr, 1980) dalam buku Hery (1990). Di pembibitan gejala pertama tampak berupa bercak – bercak kecil kebasahan pada pinggir daun. Bercak kemudian membesar, daun menguning dan kering dengan cepat. Di pertanaman, gejala awal tampak sebagai garis – garis kebasahan kemudian bercak membesar baik lebar maupun panjangya dengan tepi bercak bergelombang dan daun menguning dalam beberapa hari. Batas antara bercak dan bagian yang sehat tampak kebasahan. Walaupun gejala awal sering dimulai dari tepi daun, tetapi bercak dapat juga terjadi pada bagian tengah daun asalkan ada luka. De Datta (1981) mengemukakan bahwa gejala X. oryzae di daerah tropik dapat dibedakan atas tiga tipe, yaitu gejala kresek, gejala leaf – blight dan gejala kuning muda. Gejala kresek dan leaf – bligt adalah gejala utama dari infeksi X. oryzae, sedangkan gejala kuning sebagai gejala sekunder (Hery, 1990)
Infeksi pada pembibitan menyebabkan bibit menjadi kering. Bakteri menginfeksi masuk melalui sistem vaskular tanaman padi pada saat pindah tanam atau pada saat dicabut dari tempat pembibitan sehingga akarnya rusak, atau sewaktu terajadi kerusakan daun. Apabila sel bakteri masuk menginfeksi tanaman padi melalui akar dan pangkal batang, tanaman akan menunjukkkan gejala kresek. Seluruh daun dan bagian lainnya akan menjadi kering. Infeksi juga dapat terjadi mulai pada fase persemaian sampai fase pembentukan anakan. Sumber infeksi dapat berasal dari jerami yang telah terinfeksi, tunggul jerami, sisa tanaman yang terinfeksi, benih dan gulma inang. Sel – sel bakteri membentuk butir – butir embun pada pagi hari yang mengeras dan melekat pada permukaan daun ( Syam dan Diah, 2003)
Pada tanaman muda yang peka terhadap gejala kresek akan tampak tanaman layu dan akhirnya mati. Pada permukaan bawah daun bercak yang masih muda, terdapat tetesan cairan (bakteriooze) berwarna kekuning – kuningan mudah diamati pada pagi hari. Apabila diamati di bawah mikroskop, koloni bakteri akan keluar dari tepi irisan daun yang bergejala. Pada varietas peka gejala dapat berkembang sampai arah pelepah tanaman (Retnowati dkk, 2007).
aa

Gambar 2. a) Gejala daun terserang X. campestris pv. Oryzae, b) Daun sehat



Daur Penyakit


Terdapat empat ratus lima puluh ras Xanthomonas oryzae pv oryzae yang sudah terisolasi dari daerah pegunungan Hirosima selama tahun 2000 sampai pada tahun 2003 pada kultivar – kultivar padi yang terkena infeksi dan yang tersebar secara luas. Ras dari patogen ini juga selalu berbeda pada setiap lokasi sehingga patogen ini merupakan penyebab penyakit terpenting di wilayah Hirosima (Tanaka et al, 2004)
Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka – luka pada daun, karena biasanya bibit padi dipotong ujungya sebelum ditanam. Bakteri juga mengadakan infeksi melalui luka – luka pada akar sebagai akibat dari pencabutan. Infeksi terjadi pada saat penanaman atau beberapa hari sesudahnya. Bahkan sudah diketahui bahwa luka pada akar – akar dapat menarik bakteri. Bakteri juga dapat mengadakan infeksi melalui pori air yang terdapat pada daun, melalui luka – luka yang terjadi karena daun yang bergesekan, dan melalui luka – luka karena serangga (Semangun, 2000)
Dalam pertanaman bakteri terutama tersebar oleh hujan yang berangin. Disini angin tidak hanya memencarkan bakteri, tetapi juga menyebabkan terjadinya luka – luka karena gesekan pada daun padi (Semangun, 2000)

Gambar 3. Daur Hidup X. oryzae
Sumber : Suparyono et al, 2003 (dalam : http://www.knowledgebank.irri.org)


Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit


Penyakit dipengaruhi oleh umur tanaman. Penyakit ini juga lebih banyak terdapat pada padi yang dipindahkan pada umur yang lebih muda. Ada jenis padi tertentu yang tahan pada waktu muda dan ada yang tahan pada waktu yang dewasa. Misalnya bakteri kelompok III jenis Krueng Aceh tahan pada waktu muda, sedangkan Bahbutong, Semery, Citanduy, Cisanggarung menjadi tahan setelah dewasa. Terhadap bakteri kelompok IV Bahbutong tahan pada waktu muda dan juga setelah dewasa (Semangun, 2000)
Sumber inokulum menyebarkan infeksi pada tanaman berasal dari jerami atau sekam padi yang telah terinfeksi dapat membantu penyebaran inokulum. Selain itu gulma juga dapat berperan sebagai inang sementara (host) dari patogen ini. Bentuk biji pada padi diperkirakan dapat memberikan kesukaran dalam proses infeksi pada biji (CABI, 2003)

Pengendalian Penyakit


Daerah – daerah yang selalu mendapat gangguan dari penyakit ini dianjurkan untuk melakukan usaha – usaha sebagai berikut :
1. Menanam jenis yang tahan
2. Bibit padi yang dipindah tidak dipotong ujungnya
3. Memindahkan bibit pada umur yang tidak kurang dari 40 hari. Untuk jenis yang rentan umur ditambah
4. Untuk jenis – jenis yang rentan di anjurkan untuk menanam 4 – 5 bibit tiap rumpun, dengan harapan agar nantinya tidak banyak tempat yang kosong
5. Pemupukan yang seimbang
6. Tidak mengairi persemaian terlalu dalam
7. Jika diperlukan, penyakit dapat dicegah dengan merendam bibit yang dipotong daunnya ke dalam larutran terusi 0,05% selama 30 menit. Tanaman dapat disemprot dengan bakterisida fenazin – 5 – oksida (Stablex 10 WP) dengan dosis 0,10 kg/ha bahan aktif (Semangun, 2000)



Pengendalian penyakit kresek di daerah tropik dengan menggunakan varietas
tahan menunjukkan hasil yang efektif dan ekonomis. Sedangakan menurut Kerr (1980) penggunaan antibiotik atau senyawa kimia lain sampai saat ini kurang ekonomis (Hery, 1990)

Pemanfaatan Agensia Hayati Corynebacterium


Dengan kesadaran baru dibidang pertanian yaitu penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) dengan cara memaksimalkan penerapan berbagai metode pengendalian hama secara komprensif dan mengurangi penggunaan pestisida. Salah satu komponen PHT tersebut adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan bakteri antagonis. Berbagai penelitian tentang bakteri antagonis terbukti bahwa beberapa jenis bakteri potensial digunakan sebagai agensia hayati. Bakteri – bakteri antagonis ini diantaranya selain dapat menghasilkan antibiotik dan siderofor juga bisa berperan sebagai kompetitor terhadap unsur hara bagi patogen tanaman. Pemanfaatan bakteri – bakteri anatagonis dimasa depan akan menjadi salah satu pilihan bijak dalam usaha meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian hayati untuk menunjang budidaya pertanian berkelanjutan (Hasanuddin, 2003)
Pengendalian penyakit HDB yang diterapkan oleh BBPOPT Jatisari adalah dengan pemanfaatan bakteri antagonis. Bakteri antagonis tersebut adalah Corynebacterium. EfektifitasCorynebacterium sebagai bakteri antagonis terhadap penyakit HDB nampaknya sudah cukup baik dan Corynebacterium menunjukkan hasil yang baik pada penghambatan pemunculan gejala awal, penyebaran maupun intensitas serangan (Wibowo dkk, 2005)
Menurut Agrios (1997) bakteri Corynebacterium dapat diklasifikasikan sebagai berikut ;
Kingdom : Procaryotae (Bacteria)
Divisio : Firmicutes
Class : Thallobacteria
Family : Streptomytaceae
Genus : Clavibacter
Species : Clavibacter (Corynebacterium sp)
Bakteri ini termasuk gram positif pada pewarnaan diferensial dengan larutan ungu kristal, sel bakteri berwarna ungu. Tetapi ketika ditambahkan larutan safranin sel bakteri tidak menyerap larutan sehingga tetap berwarna ungu. Bakteri gram positif pada umumnya bersifat non patogenik (Pelczar, 1986)
Bentuk bakteri Corynebacterium adalah berbentuk batang lurus sampai agak sedikit membengkok dengan ukuran 0,5 – 0,9 X 1,5 – 4 µm. Kadang – kadang mempunyai segmen berwarna dengan bentuk yang tidak menentu atau granular dan bentuk gada yang membengkak. Bakteri ini umumnya tidak bergerak, tetapi beberapa spesiesnya ada yang bergerak dengan rata – rata dua bulu cambuk polar (Agrios, 1997)
Bakteri antagonis Corynebacterium yang dieksplorasi dari tanaman padi awalnya diduga mempunyai pengaruh buruk, bahkan berperan sebagai bakteri patogen pada beberapa jenis sayuran (Tomat, Cabe Rawit Sawi , Terong dan Mentimun). Akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan suntik, siram dan semprot ternyata tidak mengakibatkan penyakit pada tanaman. Hal ini telah membuktikan bahwa jenis bakteri ini aman diaplikasikan terhadap penyakit sasaran ( Wibowo, 2006)

Gambar 4. Bakteri Corynebacterium
Sumber : Ajcan, 2007 (Dalam : http://microbiologybytes.wordpress.com )


Ketahanan


Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat relatif, karena untuk melihat ketahanan suatu tanaman, sifat tanaman yang tahan atau dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau peka. Tanaman tahan adalah tanaman menderita kerusakan lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman yang lain. Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli atau terbawa keturunan (faktor genetik), tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang menyebabkan tanaman menjadi tahan (Untung, 2006)
Ketahanan varietas turut mempengaruhi produksi dari suatu tanaman. Selain itu produksi juga dipengaruhi oleh bentuk morfologis daun seperti luas permukaan daun, kelengkungan daun, serta kandungan klorofil daun yang mengakibatkan perbedaan penerimaan sinar matahari dan perbedaan dalam sintesa protein dan juga karbohidrat ( Untung, 2006)
Ada tiga macam ketahanan terhadap penyakit , yaitu ketahanan mekanis, ketahanan kimiawi, dan ketahanan fungsional. Ketahanan mekanis terdiri atas ketahanan mekanis pasif dan ketahanan mekanis aktif. Tumbuhan yang mempunyai ketahanan mekanis pasif mempunyai struktur morfologi yang menyebabkan sulit diinfeksi oleh patogen. Misalnya tumbuhan mempunyai epidermis yang berkutikula tebal, adanya lapisan lilin dan mempunyai mulut kulit yang sedikit, sedangkan mekanisme ketahanan mekanis aktif bekerja setelah patogen menginvasi inang, yang merupakan hasil interaksi antara sistem genetik tumbuhan inang dengan patogen. Ketahanan kimiawi terdiri atas ketahanan kimia pasif dan aktif. Ketahanan kimia pasif, parasit hanya dapat menyerang tumbuhan yang mempunyai isi sel yang susunan kimianya cocok baginya. Pada ketahanan kimia aktif terbentuk zat-zat kimia atau senyawa penangkal seperti phytoalexyn. Pada ketahanan fungsional tumbuhan tidak terserang patogen, bukan kerena adanya struktur morfologis atau zat-zat kimia, melainkan karena pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyakit, meskipun sebenarnya tumbuhan itu rentan. Tumbuhan melewati fase rentannya ketika tidak ada patogen ( Semangun, 1996)
Penggunaan varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian HDB secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif dan tidak merusak lingkungan. Tetapi keefektifan varietas yang tahan dipengaruhi oleh interaksi antara gen pembawa sifat tahan yang dimilikinya dan gen virulensinya pada populasi X. oryzae yang terdapat disuatu wilayah (Khaeruni, 2001)


Varietas

Perbaikan varietas tidak terhenti hanya karena telah diperoleh satu sifat yang baik tetapi perlu ditindaklanjuti melalui kerja sama secara terpadu dari kelompok peneliti lain seperti hama/penyakit, fisiologi, dan agronomi. Perbaikan varietas bertujuan untuk meningkatkan atau menambah sifat-sifat yang diinginkan menjadi suatu varietas baru. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk membentuk varietas yang mampu beradaptasi (Harahap dan Silitonga, 1993)
Varietas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tanaman. Pada dasarnya hasil gabah ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu faktor tanah, tanaman, dan lingkungan (iklim). Faktor terakhir merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia seperti radiasi matahari, curah hujan, suhu udara, kelembaban nisbi dll. Sementara itu faktor tanah dan tanaman dapat dimodifikasi agar cocok untuk pertumbuhan dan hasil tanaman (Yulyani dkk, 2008)
Padi hibrida merupakan salah satu inovasi yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani padi. Agar potensi padi hibrida tersebut dapat terekspresi dengan Optimal. Keunggulan Padi Hibrida antara lain : 1) hasil yang lebih tinggi daripada hasil padi unggul inhibrida; 2) vigor lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma; 3) keunggulan dari aspek fisiologi, seperti aktivitas perakaran yang lebih luas, area fotosintesis yang lebih luas, intensitas respirasi yang lebih rendah dan translokasi asimilat yang lebih tinggi; 4) keunggulan pada beberapa karakteristik morfologi seperti sistem perakaran yang lebih kuat, anakan lebih banyak, jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot 1000 butir gabah isi yang lebih tinggi (Yulyani dkk, 2008)
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan Balai Benih Induk Murni Tanjung Morawa. Kabupaten Deli Serdang dengan ketinggian ± 28 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Februari 2010

Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih varietas padi varietas ciherang, Hibrida Intani-2, Hibrida SL8HS, pupuk Urea, Pupuk TSP, Pupuk KCL.
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkul, garu, meteran, mikroskop, timbangan, sabit, tali plastik, kalkulator dan alat tulis serta papan nama.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan RAK faktorial dengan 2 faktor yaitu ;
Faktor I Konsentrasi Corynebacterium
C0 : Kontrol
C1 : 2,5 cc/ liter air
C2 : 5 cc/ liter air
C3 : 7,5 cc/ liter air
Faktor II Varietas
V1 : Ciherang
V2 : Hibrida Intani-2
V3 : Hibrida SL8HS
Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan
Jumlah ulangan
(t-1) (r-1) ≥ 15
(12-1) (r-1) ≥ 15
12 r-12 ≥ 15
12r ≥ 27
R ≥ 2,25
Jumlah ulangan = 3
Jumlah unit percobaan = 36 plot
Adapun kombinasi perlakuan sebagai berikut
C0V1 C0V2 C0V3
C1V1 C1V2 C1V3
C2V1 C2V2 C2V3
C3V1 C3V2 C3V3
Model linier yang digunakan dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial adalah sebagai berikut
Y ijk = μ + ρІ + βk + (αβ)jk + Σijk
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan pada taraf ke-j dengan beberapa dosis Corynebacterium ke-i
μ = Nilai tengah sebenarnya
ρІ = Pengaruh blok ke –I
βk = Pengaruh dosis pada taraf ke-k
(αβ)jk = Pengaruh interaksi pada taraf ke-j dan taraf ke-k
Σijk = Pengaruh galat pada unit percobaan
(Bangun, 2000)

Pelaksanaan Penelitian
Penyemaian Benih
Tanah untuk media semai dibersihkan, diratakan dan dibuat bedengan dengan ketinggian 10 cm dengan ukuran 1,5 m x 1,5 m pada setiap varietas. Sebelum penyemaian benih, benih dimasukkan kedalam goni dan direndam selama (48 jam).
Perlakuan Seed treatment dilakukan dengan cara melarutkan fungisida bahan aktif mankozeb dengan konsentrasi 1cc/liter air untuk 1 kilogram benih, perendaman dilakukan dengan memasukkan benih kedalam larutan fungisida selama 10 menit. Setelah itu benih dikeringkan lalu ditaburkan secara merata diatas bedengan.
Pengolahan Tanah
Pembersihan
Sebelum tanah sawah dibajak harus dibersikan lebih dahulu dari jerami atau rumput yang ada. Dengan luas lahan, panjang 27 meter dan lebar 8 meter sehingga total luas lahan adalah 216 m2

Pembajakan
Pembajakan dengan jetor sebanyak 2 kali, yang pertama pembajakan kasar 10-30 cm dan setelah seminggu kemudian dilakukan pembajakan halus dengan kedalaman 10-20 cm.
Penggaruan
Penggaruan dilakukan berulang – ulang sehingga lahan benar – benar bersih dari sisa jerami.
Pembuatan Plot
Plot dibuat dengan ukuran 2 m x 2 m sebanyak 36 plot. Jarak antara plot dibuat bedengan setinggi 10 cm dengan lebar 25 cm
Pemupukan
Dosis anjuran penggunaan pupuk untuk wilayah kecamatan Tanjung Morawa kabupaten Deli Serdang adalah sebagai berikut
1. Urea 250 kg/ha
2. SP-36 100 kg/ha
3. KCL 50 kg/ha
(PERMENTAN, 2007)
Pemupukan dasar diberikan dengan cara ditaburkan secara merata diatas plot dengan dosis Urea 126,5 gram/plot, SP-36 50,6 gram/plot dan KCL 5,06 gram/plot. Pupuk dasar diberikan empat hari sebelum tanam dengan 1/3 bagian urea dan seluruh dosis SP-36 maupun KCL. Pemupukan susulan pertama diberikan empat minggu setelah tanam dengan dosis 1/3 bagian urea. Sedangkan pemupukan susulan kedua diberikan 7 minggu setelah tanam dengan dosis 1/3 urea sisanya (Wirawan dan Sri Wahyuni, 2002)
Penanaman
Bibit yang akan dicabut adalah bibit yang berumur 15-20 hari, berdaun 5-7 helai. Bibit yang digunakan adalah bibit yang sehat, tingginya ± 25 cm, batangnya besar dan kuat, bebas dari serangan hama penyakit dan tingginya seragam. Pencabutan bibit dilakukan pada pagi hari. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Sehingga tanaman dalam satu plot berjumlah 49 tanaman.
Pemeliharaan
Penyulaman dilakukan pada pagi/sore hari bila ada tanaman yang mati atau rusak. Penyulaman dilakukan pada saat sebelum aplikasi Corynebacterium yaitu pada saat tanaman berumur 12 hari setelah tanam. Tanaman disiangi dari gulma – gulma setiap minggunya sebelum dilakukan pemupukan.
Aplikasi Corynebacterium

Corynebacterium didapat dari BPTPH Gedung Johor dalam bentuk kemasan jadi yang di eksplorasi dari tanaman padi. Aplikasi Corynebacterium dilakukan setelah pengamatan pendahuluan. Bila telah ditemukan persentase serangan ≥ 5% maka dilakukan penyemprotan Corynebacterium pada tanaman sesuai dengan perlakuan. Penyeprotan dilakukan dengan hand sprayer dengan interval 1 minggu (7 hari) sekali dan dihentikan pada umur 86 hari setelah tanam. Aplikasi dilakukan pada sore hari, mulai pukul 15.00, waktu aplikasi dihindari waktu terik matahari untuk mencegah rusaknya bakteri akibat sinar matahari (Retnowati dkk, 2007)
Parameter Pengamatan
Intensitas Serangan Penyakit Xanthomonas campestris pv oryzae
Sampel yang diamati dalam satu plot adalah ± 10% jumlah tanaman perplot. Pengambilan tanaman sampel diambil secara acak, jumlah tanaman sampel dalam satu plot adalah 5 tanaman
Intensitas serangan penyakit dihitung seminggu sekali, pengambilan data dimulai apabila sudah ada gejala dilapangan. Data intensitas serangan diambil sebanyak 8 kali. Pengamatan intensitas serangan dilakukan 1 hari sebelum aplikasi Corynebacterium.
Besarnya intensitas serangan dihitung dengan rumus sebagai berikut
∑ (n x v)
IS = ----------- x 100%
Z x N
Dimana:
IS = Intensitas serangan
n = Jumlah daun dalam tiap kategori serangan
v = Nilai skala tiap kategori serangan
Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi
N = Jumlah daun yang diamati
Skala (uji lapang, area daun terserang)
0 = Tidak ada serangan
1 = Serangan 1-5%
3 = Serangan 6-12%
5 = Serangan 13-25%
7 = Serangan 26-50%
9 = Serangan 51-100%
(Silitonga dkk, 2003)
Pemanenan
Pemanenan dapat dilakukan setelah 100 hari pada tingkat pemasakan 95 % bulir sudah menguning, bagian bawah malai terdapat sedikit gabah hijau, kadar air gabah 21 – 26 %. Seluruh bagian tanaman sudah berwarna kuning. Batang mulai menguning. Gabah yang diambil sudah sulit dipecah apabila dipecah dengan kuku. Dikeringkan sawah seminggu sebelum panen, dipotong dengan sabit dan dipanen dengan mesin. Setelah itu padi dikeringkan di terik matahari (Yulyani dkk, 2008)
Produksi
Pengamatan produksi tanaman dilakukan pada saat panen. Hal ini dilakukan dengan menghitung produksi masing-masing plot perlakuan dalam satuan kg/plot dan dikonvensikan ke dalam per hektar dan hal yang sama dilakukan pada masing masing tanaman sampel dengan menggunakan rumus
Produksi (ton/ha) = Luas lahan 1 hektar (10.000 m2) x Produksi per plot
Luas Plot ( m2)

(Sudarman dan sudarsono, 1981)








HASIL DAN PEMBAHASAN


Intensitas Serangan (%) Xanthomonas campestris pv oryzae


1. Pengaruh Konsentrasi Corynebacterium Terhadap Intensitas Serangan (%) Xanthomonas campestris pv oryzae

Hasil pengamatan intensitas serangan X. campestris pv oryzae Pada setiap waktu pengamatan mulai dari 4-11 minggu setelah tanam (mst) dapat dilihat pada lampiran 6-13. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa faktor konsentrasi Corynebacterium berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan X. campestris pv oryzae. Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata, maka dilakukan Uji Jarak Duncan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae pada padi pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium (C) untuk setiap waktu pengamatan (mst).
Perlakuan Pengamatan
4mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst 9 mst 10 mst 11 mst
C0 7.02 18.06 a 25.56 a 30.69 a 35.18 a 39.61 a 43.97 a 47.86 a
C1 7.02 16.67 b 22.91 b 26.87 b 29.77 b 35.11 b 37.72 b 41.49 b
C2 6.87 13.94 c 20.72 c 23.88 c 26.85 c 30.39 c 34.44 c 38.74 c
C3 7.08 12.35 d 18.20 d 20.97 d 24.32 d 28.34 d 33.34 d 37.23 c
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Duncan.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa pada pengamatan intensitas serangan (%) penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 4 mst tidak berpengaruh nyata pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium karena aplikasi Corynebacterium pada 4 minggu setelah tanam belum dilakukan. Pada pengamatan 5 mst – 11 mst dapat dilihat bahwa aplikasi Corynebacterium dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan (%) kresek X. campestris pv oryzae.
Pada pengamatan 11 mst dapat dilihat bahwa aplikasi Corynebacterium dengan konsentrasi 7,5 cc/liter air (C3) berpengaruh nyata terhadap dosis 2,5 cc/liter air (C1) dan (C0) tanpa pemberian Corynebacterium tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi 5 cc/liter air (C2)

Gambar 5 : Histogram Rataan Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae pada padi pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium (C) untuk setiap waktu pengamatan (mst)

Dari histogram diatas, dapat dilihat bahwa pada setiap waktu pengamatan (4-11mst) terjadi perubahan nilai intensitas serangan (%) X. c. pv oryzae pada setiap perlakuan. Namun intensitas serangan mengalami peningkatan setiap minggunya secara bertahap dari 4 mst sampai 11 mst. Intensitas serangan tertingggi terjadi pada perlakuan tanpa pemberian Corynebacterium (C0) yaitu sebesar 47,86 % , diikuti dengan konsentrasi 2,5 cc/liter air (C1) sebesar 41,49 %, konsentrasi 5 cc/liter air sebesar 38.74 % dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan C3 (konsentrasi 7,5 cc/liter air) yaitu sebesar 37,23 %. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tingginya intensitas serangan penyakit kresek dipengaruhi oleh konsentrasi agen antagonis Corynebacterium yang mampu menghambat perkembangan penyakit di lapangan hal ini sesuai dengan literatur Wibowo (2005) yang menyatakan bahwa efektifitas Corynebacterium sebagai bakteri antagonis terhadap penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri) sudah cukup baik dan Corynebacterium menunjukkan hasil yang baik pada penghambatan pemunculan gejala awal, penyebaran maupun intensitas serangan.

2. Pengaruh Faktor Varietas (V) Terhadap Intensitas Serangan (%) Xanthomonas campestris pv oryzae

Hasil pengamatan intensitas serangan X. campestris pv oryzae Pada setiap waktu pengamatan mulai dari 4-11 minggu setelah tanam (mst) dapat dilihat pada lampiran 6-13. Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa faktor variets berpengaruh nyata. Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata, maka dilakukan Uji Jarak Duncan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 : Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae pada padi pada perlakuan Varietas (V) untuk setiap waktu pengamatan (mst).
Perlakuan Pengamatan
4mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst 9 mst 10 mst 11 mst
V1 7.16 13.26c 18.42c 20.86c 24.21c 28.35c 32.25c 36.25c
V2 6.79 15.31b 21.51b 25.31b 28.89b 34.22b 38.04b 42.10b
V3 7.04 17.20a 25.61a 30.63a 33.99a 37.51a 41.81a 45.64a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Duncan.

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan varietas pada 4 minggu setelah tanam tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan X. campestris pv oryzae. Sedangkan pengamatan 5 mst sampai 11 mst dapat dilihat bahwa perlakuan varietas terhadap intensitas serangan berpengaruh nyata. Pada pengamatan II (5mst) perlakuan varietas Ciherang (V1) berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Hibrida SL 8 HS (V3) Sebesar 17.20% dan yang terendah terdapat pada varietas Ciherang (V1) sebesar 13.26%. Pengamatan 5 – 11 mst perlakuan varietas berbeda nyata. V1 berbeda nyata terhadap V2 dan V3, V2 berbeda nyata terhadap V3.

Gambar 6 : Histogram Rataan Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae pada padi pada perlakuan Varietas (V) untuk setiap waktu pengamatan (mst).

Dari histogram diatas, bahwa pada setiap waktu pengamatan (4-11 mst) terjadi perubahan nilai persentase serangan pada setiap perlakuan. Intensitas serangan mengalami peningkatan setiap minggunya secara bertahap dari 4 mst sampai 11 mst. Intensitas serangan tertinggi terjadi pada varietas Hibrida SL8HS (V3) sebesar 45.64 % dan diikuti oleh varietas Intani-2 (V2) Sebesar 42.10 % sedangkan serangan terendah yaitu pada varietas Ciherang (V3) yaitu sebesar 36.25 % pada pengamatan 11 mst. Hal ini menunjukkan bahwa varietas paling rentan terhadap penyakit kresek adalah varietas Hibrida SL8HS seperti yang tercantum dalam deskripsi varietas SL8HS lampiran 5 menerangkan bahwa varietas ini rentan terhadap penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri). Sedangkan varietas paling tahan adalah varietas Ciherang (V1) sesuai dengan deskripsi varietas Ciherang pada lampiran 3 dimana varietas ini tahan terhadap bakteri busuk daun (Xanthomonas oryzae)
3. Pengaruh Faktor Interaksi Perlakuan Corynebacterium (C) dengan Varietas (V) Terhadap Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae

Pengamatan intensitas serangan penyaki X. campestris pv oryzae (%) pada 4 – 11 minggu setelah tanam dapat dilihat pada lampiran 6 -13
Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa faktor perlakuan Corynebacterium dengan Varietas yang berbeda berpengaruh nyata. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata dilakukan Uji Jarak Duncan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 :
Tabel 3 : Uji Beda Rataan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae (%) pada Padi dengan Perlakuan Corynebacterium (C) dan Varietas (V) yang Berbeda untuk setiap waktu Pengamatan
Perlakuan Pengamatan
4 mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst 9 mst 10 mst 11 mst
C0V1 6.93 15.90 d 22.43 c 25.43 e 29.13 d 34.20 d 38.30 d 42.30 c
C0V2 6.73 17.67 c 25.05 b 30.29 c 35.90 b 40.13 b 44.95 b 48.95 b
C0V3 7.40 20.60 a 29.19 a 36.33 a 40.50 a 44.49 a 48.67 a 52.33 a
C1V1 7.20 14.53 e 20.72 d 23.28 f 26.13 e 29.77 f 32.83 f 36.83 f
C1V2 7.00 16.43 d 22.53 c 25.39 e 27.64 d 35.65 c 39.37 d 43.37 c
C1V3 6.87 19.03 b 25.47 b 31.93 b 35.53 b 39.91 b 40.95 c 44.28 c
C2V1 6.97 11.50 g 15.93 e 18.87 h 21.83 g 26.30 g 28.96 g 32.96 g
C2V2 6.80 14.47 e 21.28 d 24.30 f 27.29 d 32.03 e 34.00 f 38.91 e
C2V3 6.83 15.87 d 24.93 b 28.47 d 31.43 c 32.83 e 40.35 c 44.35 c
C3V1 7.53 11.087 g 14.60 f 15.87 i 19.74 h 23.14 h 28.91 g 32.91 g
C3V2 6.63 12.67 f 17.13 e 21.27 g 24.73 f 29.07 f 33.85 f 37.18 e
C3V3 7.07 13.30 f 22.87 c 25.77 e 28.48 d 32.82 e 37.27 e 41.60 d
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata 5% menurut Uji Jarak Duncan (UJD)

Dari tabel dapat dilihat bahwa pada pengamatan 4 minggu setelah tanam masing – masing perlakuan tidak berbeda nyata terhadap intensitas serangan penyakit X. campestris pv oryzae sedangkan pada pengamatan 5 mst – 11 mst masing – masing perlakuan berbeda nyata. Pada pengamatan 11 mst C0V1 berbeda nyata terhadap C0V2, C0V3, C1V1, C2V1, C2V2, C3V1, C3V2, C3V3, tetapi C0V1 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan C1V2, C1V3 dan C2V3.

Gambar 7 : Histogram Rataan Intensitas Serangan (%) X. campestris pv oryzae pada padi pada perlakuan Corynebacterium (C) dengan Varietas (V) yang berbeda untuk setiap waktu pengamatan (mst).

Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa intensitas serangan penyakit interaksi antar perlakuan terus mengalami kenaikan dari pengamatan 4 mst sampai pengamatan 11 mst kenaikan intensitas serangan dipengaruhi oleh dosis Corynebacterium dan varietas pada masing- masing perlakuan. Hal ini diakibatkan oleh faktor umur tanaman Semangun (2000) menyatakan bahwa penyakit ini dipengaruhi oleh umur tanaman ada jenis padi tertentu yang tahan pada waktu muda dan ada juga yang tahan pada waktu tua.
Pengaruh interaksi antara konsentrasi Corynebacterium dengan varietas yang berbeda berpengaruh nyata pada pengamatan 5 mst – 11 mst Pada pengamatan 11 mst intensitas serangan tertinggi terdapat pada perlakuan C0V3 (kontrol dengan varietas SL8HS) ) yaitu sebesar 52.33 % yang diikuti dengan C0V2 (kontrol dengan varietas Intani-2) 48,95%, C2V3 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) 44.35 %, C1V3 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) 44,28 %, C1V2 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 43,37% C0V1 (kontrol dengan varietas Ciherang) 42,30 %, C3V3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) 41.60 %, C2V2 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 38.91 %, C3V2 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 37,18 %, C1V1 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 36,83 %, C2V1 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) sedangkan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan C3V1 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) yaitu sebesar 32,91 % .
Tingginya intensitas serangan penyakit pada perlakuan COV3 (kontrol dengan varietas SL8HS) dikarenakan tidak adanya pengendalian penyakit yang dilakukan sehingga patogen dalam tanaman dapat berkembang lebih cepat dan varietas SL8HS yang fisiologisnya rentan terhadap penyakit kresek dan anakan produktifnya yang relatif banyak (18-30 batang) yang mempengaruhi tingkat kelembapan sehingga mendukung perkembangan patogen. Serangan penyakit terendah terdapat pada perlakuan C3V1 dikarenakan konsentrasi Corynebacterium yang tinggi mampu menghambat perkembangan penyakit yang dikombinasikan dengan varietas yang secara fisiologis tahan terhadap penyakit kresek (HDB) ini. Disamping itu rendahnya intensitas serangan penyakit X. campestris pv oryzae diakibatkan keadaan suhu udara rata-rata selama musim pertanaman yang kurang mendukung perkembangan patogen dilapangan yaitu sekitar 26-28 0 C serta curah hujan hujan selama waktu tanam yang sangat kecil yaitu antara 42-251 mm hal ini dapat kita lihat pada lampiran15. Sedangkan Wiyono (2007) menyatakan bahwa suhu optimum untuk perkembangan penyakit X. campestris pv oryzae adalah 30 0C dan penularan utamanya disebabkan percikan air
Produksi Padi
1. Pengaruh Konsentrasi Corynebacterium Terhadap Produksi Padi
Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi Corynebacterium terhadap produksi padi dapat dilihat pada lampiran 14.
Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa konsentrasi Corynebacterium berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Untuk melihat perlakuan yang mana berbeda nyata dilakukan Uji Jarak Duncan (UJD) pada taraf 5 % seperti pada tabel 4
Tabel 4 : Uji beda rataan produksi padi pada perlakuan dosis Corynebacterium (C) (Ton/ha)
Dosis Corynebacterium Rataan
Produksi (Ton/ha)
C0 (Kontrol tanpa Corynebacterium) 8.05 b
C1 (Konsentrasi 2,5 cc/liter air) 8.37 b
C2 (Konsentrasi 5 cc/liter air) 8.69 a
C3 (Konsentrasi 7,5/liter air) 8.92 a

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Duncan

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa aplikasi Corynebacterium dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh nyata terhadap produksi padi (Ton/ha) (%) C3 (dengan konsentrasi 7,5 cc/liter air) berpengaruh nyata terhadap C1 (konsentrasi 2,5 cc/liter air) dan C0 (Kontrol tanpa Corynebacterium) tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap C2 (konsentrasi 5 cc/liter air)

Gambar 8 : Histogram rataan produksi padi pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium (C) (Ton/ha)

Dari histogram diatas, dapat dilihat bahwa produksi tertinggi terdapat pada C3 (konsentrasi 7,5 cc/liter air) yaitu sebesar 8,92 ton/ha diikuti dengan C2 (konsentrasi 5 cc/liter air) 8.69 ton/ha, C1 (konsentrasi 2,5 cc/liter air) 8,37 ton/ha dan yang terendah terdapat pada perlakuan C0 (Kontrol tanpa Corynebacterium) yaitu sebesar 8,05 ton/ha. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa intensitas serangan penyakit mempengaruhi rendahnya produksi padi pada perlakuan C0 (Kontrol tanpa Corynebacterium) yaitu 8.05 ton/ha, yang mengakibatkan penyakit berkembang cepat dengan intensitas serangan yang tinggi 47,86 % sehingga mengakibatkan rendahnya produksi karena terganggunya proses fisiologis pada tanaman Wiyono (2007) penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman. Sedangkan pada perlakuan C3 (konsentrasi Corynebacterium 7,5 cc/liter air) yang mampu menekan pertumbuhan penyakit HDB (Hawar Daun Bakteri) sehingga intensitas serangan relatif kecil 37,23 % mempunyai produksi paling tinggi yaitu sebesar 8.92 ton/ha. Hal ini sesuai dengan literatur Suryadi dkk (2006) yang menyatakan serangan penyakit HDB pada padi sawah dapat menyebabkan penurunan hasil 20-30%.

2. Pengaruh Varietas Terhadap Produksi Padi

Hasil analisis sidik ragam pengaruh varietas terhadap produksi padi menurut Uji Jarak Duncan (UJD) pada taraf 5% dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5 : Uji beda rataan produksi padi pada beberapa Varietas (V) (Ton/ha)
Varietas Rataan
Produksi (Ton/ha)
V1 (Ciherang) 7.36 c
V2 (Intani-20 8.26 b
V3 (Hibrida SL8HS) 9.90 a

Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Duncan

Dari hasil analisis sidik ragam pada tabel 5 menunjukkan bahwa V1 berpengaruh nyata terhadap V2 dan V2 berpengaruh nyata terhadap V3 dan V3 berpengaruh nyata terhadap V1 dan V2. Produksi tertinggi terdapat pada V3 yaitu sebesar 9.90 ton/ha hal ini diakibatkan pada V3 (varietas SL8HS) memiliki keunggulan pada beberapa karakteristik morfologi seperti sistem perakaran yang lebih kuat, anakan lebih banyak, jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot 1000 butir gabah isi yang lebih tinggi Yulyani dkk (2008) sehingga produksinya lebih tinggi dibanding varietas lainnya. Sedangkan produksi V2 yaitu 8.26 ton/ha dan V1 yaitu 7.26 ton/ha, lebih rendah karena morfologi daunnya yang relatif sempit dan malai yang pendek serta anakan yang sedikit sehingga potensi hasilnya menjadi rendah dapat dilihat pada lampiran 3-4. Untuk melihat perbandingan produksi masing-masing varietas dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 9 : Histogram rataan produksi padi pada beberapa Varietas (V)

3. Pengaruh Faktor Interaksi Perlakuan Corynebacterium (C) dengan Beberapa Varietas (V) Terhadap Produksi Padi (Ton/ha)

Pengamatan pengamatan produksi gabah kering padi dapat dilihat pada lampiran 14. Dari analisis sidik ragam produksi dapat dilihat adanya perbedaan nyata pada masing-masing perlakuan, maka dilalkukan Uji Jarak Duncan (UJD). Hasilnya dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6 : Uji Beda Rataan produksi padi (Ton/ha) pada Perlakuan Corynebacterium (C) dengan Varietas (V) yang Berbeda
Perlakuan Interaksi Corynebacterium dengan Varietas Rataan
Produksi (Ton/ha)
C0V1 (Kontrol dengan varietas Ciherang) 7.24 f
C0V2 (Kontrol dengan varietas Itani-2) 8.15 e
C0V3 (Kontrol dengan varietas Hibrida SL8HS) 8.74 d
C1V1 (Konsentrasi 2,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7.40 f
C1V2 (Konsentrasi 2,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8.25 d
C1V3 (Konsentrasi 2,5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS 9.47 c
C2V1 (Konsentrasi 5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7.52 f
C2V2 (Konsentrasi 5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8.27 d
C2V3 (Konsentrasi 5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS) 10.28 b
C3V1 (Konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7.29 f
C3V2 (Konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8.38 d
C3V3 (Konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS) 11.10 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata 5% menurut Uji Jarak Duncan (UJD)
Dari tabel 6 menunjukkan bahwa rataan berat kering tertinggi terdapat pada perlakuan C3V3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) yaitu 11.10 ton/ha yang diikuti dengan C2V3 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) 10,28 ton/ha, C1V3 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) 9,47 ton/ha, C0V3 (kontrol dengan varietas SL8HS) 8,74 ton/ha, C3V2 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8,38 ton/ha, C2V2 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8,27 ton/ha C1V2 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2) 8,25 ton/ha, C0V2 (kontrol dengan varietas Intani-2) 8,15 ton/ha, C2V1 (Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7,52 ton/ha C1V1 (Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7,40 ton/ha, C3V1 (dosis Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) 7,29 ton/ha dan yang terendah pada perlakuan COV1 (kontrol dengan varietas Ciherang) 7,24 ton/ha. Tingginya produksi pada perlakuan C3V3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) yaitu 11,10 ton/ha dipengaruhi oleh faktor varietas yang mempunyai jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot 1000 butir gabah isi yang lebih tinggi Yulyani dkk (2008) yang didukung oleh rendahnya intensitas serangan penyakit akibat penghambatan pertumbuhan patogen karena tingginya dosis Corynebacterium yang diaplikasikan sehingga tanaman dapat berproduksi maksimal. Sedangkan rendahnya produksi pada COV1 (kontrol dengan varietas Ciherang) 7,24 ton/ha yang disebabkan oleh faktor varietas yang memiliki sedikit anakan dan didukung oleh intensitas serangan yang tinggi sehingga terjadi penurunan hasil produksi. Histogram rataan produksi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10 : Histogram rataan produksi padi pada interaksi perlakuan Corynebacterium (C) pada beberapa Varietas (V)














KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Pada perlakuan Konsentasi Corynebacterium (C) , Intensitas serangan (%) paling tinggi terdapat pada perlakuan C0 (Kontrol) sebesar 47,86% dan yang terendah pada perlakuan C3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air) yaitu 37,23%
2. Intensitas serangan tertinggi pada faktor perlakuan varietas (V) terdapat pada V3 (varietas Hibrida SL8HS) sebesar 45,64% yang diikuti dengan V2 (varietas Intani-2) 42,10% dan yang terendah adalah perlakuan V1 (varietas Ciherang) 36,25%.
3. Intensitas serangan penyakit paling tinggi terjadi pada masa generatif terdapat pada perlakuan C0V3 (Kontrol dengan varietas Hibrida SL8HS) sebesar 52,33% dan yang terendah pada C3V1(dosis Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Ciherang) sebesar 32,91% pada 11 minggu setelah tanam
4. Produksi tertinggi pada perlakuan Konsentasi Corynebacterium (C) terdapat pada perlakuan C3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air) yaitu 8,92 ton/ha dan yang terendah pada perlakuan C0 (Kontrol) sebesar 8,05 ton/ha
5. Produksi tertinggi pada perlakuan varietas terdapat pada V3 (varietas Hibrida SL8HS) sebesar 9,90 ton/ha yang diikuti V2 (varietas Intani-2) 8,26 ton/ha sedangkan yang terendah pada perlakuan V1 (varietas Ciherang) yaitu 7,26 ton/ha


6. Produksi tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan C3V3 (Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas SL8HS) sebesar 11.10 ton/ha dan produksi terendah terdapat pada perlakuan pada COV1 (kontrol dengan varietas Ciherang) yaitu 7,24 ton/ha

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang uji ekfektifitas Corynebacterium terhadap penyakit Xanthomonas campestris pv oryzae dengan interval aplikasi yang lebih lama yaitu 14 hari sekali
























DAFTAR PUSTAKA



AAK, 1992. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 12 – 39

Ajcann, 2007. Corynebacteria. Diakses dari microbiologybytes.wordpress.com/page/32/. Pada tanggal 21 Januari 2009

Agrios, G. N., 1997. Plant Pathology Fift Edition. Department of Plant Pathology. University of Florida. Hlm 440 – 444

Bangun, M. K., 1990. Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian USU.Hlm 23-24

CABI, 2003. Data Sheets on Quarantine Pest, Xanthomonas Oryzae. Diakses dari www.eppo.org/QUARANTINE/bacteria/Xanthomonas_citri/XANTCI pada tanggal 16 Januari 2009. Hlm 2 – 4

Gnananickam, S. S., V. Brindha Priyadarisini, N. N. Narayana, Preet Vasudevan and Kavitha., 1999. An Overview of Bacterial Bligh Disease of Rice and Strategies For its Management. www.ias.ac.in/currsci/dec101999/REVIEWARTICLE.University of Madras, India. Current Science. Vol 77 No. 11. Diakses pada tanggal 16 Januari 2009. Hlm 1345 – 1347

Harahap, Z. dan T.S. Silitonga. 1993. Perbaikan varietas padi. Dalam Buku Padi 2. Badan Pertanian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. hlm. 335-375.

Hasanuddin., 2003. Peningkatan Peranan Mikroorganisme Dalam Sistem Pengendalian Penyakit Secara Terpadu. library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf USU Digital Library. Medan Diakses pada tanggal 16 Januari 2009. Hlm 7

Hery, Gede Purwa Jelantik., 1990. Daya Penghambatan Tiga Jenis Ekstrak Tumbuhan terhadap Pertumbuhan (Jumlah Koloni) Bakteri Xanthomonas oryzae (Uyeda & Ishiyama) Dowson dan Pseudomonas Solanacearum E.F Smith In Vitro. Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan. IPB. Bogor. Hlm 1 – 4

Khaeruni, Andi R., 2001. Penyakit HDB Pada Padi Masalah dan Pemecahannya. akhaeruni@hotmail.com Makalah Falsafah Sains. Diakses pada tanggal 10 Januari 2009. Hlm 1

Luh, B. S., 1980. Rice Production and Utilization. AVI Publishing Company Inc. California. Hlm 63-68

Ou, S. H., 1972. Rice Diseases. Commonw, inst. Hlm 38
Pelczar, Michael J., 1986 Dasar – Dasar Mikrobiolgi 1. Universitas Indonesia Press, Jakarta Hlm 82-85,117

PERMENTAN, 2007. Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi (Sumatera Utara). Menteri Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Hlm 52

Retnowati, Lilik., Cahyadi Irwan, Baskoro SW dan Harsono L., 2007. Perbanyakan dan Cara Aplikasi Corynebacterium. BBOPT. Jatisari. Hlm 1 – 2

Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM-press, Yogyakarta. Hlm 90 – 95

Semangun, H., 2000. Penyakit – Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Hlm 267 - 272

Sharma, O.P., 2002. Plant Taxonomy. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi. Hlm 435 – 431

Silitonga, Tiur Sudiaty., Ida Hanarida Somantri., Aan Andang Daradjat dan Hakim Kurniawan., 2003. Panduan Sistem Karakterisasi dan Evaluasi Tanaman Padi. Departemen Pertanian, Bogor. Hlm 30

Singh, R. S., 1998.,. Plant Disease. Oxford Publishin, New Delhi. Hlm 183 – 221

Siregar, Hardian , 1981. Budidaya Tanaman Padi Di Indonesia. Sastra Hudaya. Bogor. Hlm 24 – 29

Sudarman dan Sudarsono,1981. Pedoman Managemen UsahaTani, Jakarta. Hlm 63

Suparyono., dkk., 1997. Budidaya Padi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 18 – 20

Suparyono, JLA Catindig, FA dela Peña, and IP Oña, 2003. Bacterial Leaf Blight. www.knowledgebank.irri.org/RiceDoctor/Fact. Diakses pada tanggal 20 Januari 2009.

Suryadi, Y, T. S. Kadir dan Machmud., 2006. Deteksi Xanthomonas oryzae pv oryzae Penyebab Hawar Daun Bakteri Pada Tanaman Padi. http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=publikasi/isi_informasi&kod=PP25/02&kd=1&id_menu=5&id_submenu=21&id=143 Jurnal Penelitian Tanaman Pangan Vol 25 No. 2 Tahun 2006. Diakses pada tanggal 16 Januari 2009. Hal 108 – 109




Syam dan Diah Wurjandari., 2003. Masalah Lapang Hama Penyakit dan Hara Pada Padi. library.diptero.or.id/index.php?p=show_detail&id=4878 - 10k Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta. Diakses pada tanggal 16 Januari 2009. Hlm 38 – 39


Tanaka, Koji., Sayaka Nakatsu, Zen Nasuke Katsuba, Hiros Furaya, Takao Tsuchiya, Takasi Oku., 2004. Notes on the Occurrence of Pathogenic Races of Xanthomonas oryzae pv oryzae Found in Hirosima Prefecture. http://www.springerlink.com/content/ru829875v6850k31. Hiroshima Prefectural University. Japan. Diakses pada tanggal 16 Januari 2009. Hlm 114 – 116

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm 139 – 141

Wibowo, Baskoro Sugeng., 2006. Pemanfaatan Bakteri Antagonis. BBOPT. Jati Sari. Hlm 1-15

Wirawan, Baran dan Sri Wahyuni., 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 49

Wiyono, Suryo., 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama Penyakit Tanaman. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Makalah Keanekaragaman Hayati di Tengah Perubahan Iklim. Diakses pada tanggl 16 Januari 2009. Hlm 1 – 10
Yolanda Guevara y Anna Maselli, 1999., Etizon Bacteriano Del Arroz en Venezuela. www.ceniap.gov.ve/.../at4904/arti/guevara_y.htm. Diakses pada tanggal 16 Januari 2009.
Yulyani , Andi Fatwiwati., Muljady D. Mario, Muljady D. Mario, R.H.Anasiru, Annas Zubair ,Yusuf Antu, 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Padi Hibrida. Departemen Pertanian. Gorontalo. Hlm 3 dan 25














LAMPIRAN
Lampiran 1
1. Bagan Penelitian

I U II III

2,25 m

27 2,25 m
m




































8 meter
Keterangan


C0V1 : Kontrol dengan varietas Ciherang
C0V2 : Kontrol dengan varietas Intani-2
C0v3 : Kontrol dengan varietas Hibrida
C1V1 : Konsentrasi Corynebacterium 2,5 cc/ liter air dengan varietas Ciherang
C1V2 : Konsentrasi Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2
C1V3 : Konsentrasi Corynebacterium 2,5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS
C2V1 : Konsentrasi Corynebacterium 5 cc/ liter air dengan varietas Ciherang
C2V2 : Konsentrasi Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas IR 64
C2V3 : Konsentrasi Corynebacterium 5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS

C3V1 : Konsentrasi Corynebacterium 7,5 cc/ liter air dengan varietas Ciherang
C3V2 : Konsentrasi Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Intani-2
C3V3 : Konsentrasi Corynebacterium 7,5 cc/liter air dengan varietas Hibrida SL8HS


2. Bagan Tanaman Sampel
2,25 m

2,25 m





1 Meter XXXXXX










Lampiran 3. Deskripsi Tanaman Padi Varietas Ciherang


Asal : Persilangan IR 18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-3-1- 3///IR64///IR64

Golongan : Tidak berbulu
Bentuk : Tegak
Tinggi : ± 107 – 115 cm
Anakan Produktif : 10-15 tanaman
Warna :
Kaki : Hijau
Batang : Hijau
Telinga daun : Putih
Lidah daun : Putih
Muka daun : Kasar pada sebelah bawah daun
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Gabah :
Bentuk : Panjang, Ramping
Warna : Kuning Bersih
Bobot 1000 butir : 28 gram
Nasi
Rasa : Pulen
Kadar Amilosa : 23%
Panen :
Hasil Gabah : ± 7 ton / ha gabah kering
Umur : 100 – 115 hari
Kerontokan : Sedang
Penyakit : Agak tahan terhadap bakteri busuk daun strain III dan Iv
Tahun Dilepas : 25 Februari 2000


Sumber : PT. Sang Hyang Sri Persero














Lampiran 4.Deskripsi Tanaman Padi Varietas Hibrid Intani-2

Nomor Seleksi : BPK 002
Asal Persilangan : 02 A x K10
Golongan : Cere, Kadang erulu
Umur Tanaman : 108 – 118 Hari
Bentuk Tanaman : Tegak
Tinggi Tanaman : 89,7 - 107,9 cm
Anakan Produktif : 11 - 17 batang
Warna Kaki : Hijau tua
Warna batang : Hijau tua
Warna telinga daun : Tidak berwarna
Warna helai daun : Tidak berwarna
Muka daun : Halus
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Slender
Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Tahan
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 25,57%
Bobot 1000 butir : 23,97 – 26,7 gram
Potensi hasil : 8,7 – 11,2 ton per hektar
Hama : Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3
Penyakit : Agak tahan terhadap BLB strain III dan IV
No SK Metan : 645/Kpts/TP.240/12/2001
Tahun Dilepas : 31 Desember 2001

Sumber : Badan Benih Nasional, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian

















Lampiran 5. Deskripsi Tanaman Padi Varietas SL-8SHS

Nomor Seleksi : SL-8H
Asal Persilangan : Introduksi dari Philippines, merupakan keturunan pertama
Golongan : F1 hasil persilangan CMS SL-1A dengan Restorer SL-8R
Umur Tanaman : 112 – 115 hari
Bentuk Tanaman : Tegak
Tinggi Tanaman : 107 - 115 cm
Anakan Produktif : 18 – 30 batang
Warna Kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : Tidak berwarna
Warna helai daun : Tidak berwarna
Muka daun : Kasar
Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Sedang
Warna gabah : Kuning jerami
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 25,5%
Bobot 1000 butir : 26-27 gram
Potensi hasil : 14,83ton/ ha gabah kering giling
Penyakit : Rentan Terhadap Penyakit HDB Strain III dan IV

Sumber : Badan Benih Nasional, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian



















Lampiran 6. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 4 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 7.40 6.00 7.40 20.80 6.93
C0V2 6.90 6.00 7.30 20.20 6.73
C0V3 7.60 6.20 8.40 22.20 7.40
C1V1 6.90 7.50 7.20 21.60 7.20
C1V2 7.10 7.20 6.70 21.00 7.00
C1V3 5.10 8.40 7.10 20.60 6.87
C2V1 7.40 6.20 7.30 20.90 6.97
C2V2 7.00 5.70 7.70 20.40 6.80
C2V3 7.40 7.40 5.70 20.50 6.83
C3V1 7.90 7.50 7.20 22.60 7.53
C3V2 7.20 6.80 5.90 19.90 6.63
C3V3 6.40 6.50 8.30 21.20 7.07
Total 84.30 81.40 86.20 251.90
Rataan 7.03 6.78 7.18 7.00

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 20.80 20.20 22.20 63.20 21.07
C1 21.60 21.00 20.60 63.20 21.07
C2 20.90 20.40 20.50 61.80 20.60
C3 22.60 19.90 21.20 63.70 21.23
Total 85.90 81.50 84.50 251.90
Rataan 21.48 20.38 21.13 20.99

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 6.93 6.73 7.40 21.07 7.02
C1 7.20 7.00 6.87 21.07 7.02
C2 6.97 6.80 6.83 20.60 6.87
C3 7.53 6.63 7.07 21.23 7.08
Total 28.63 27.17 28.17 83.97
Rataan 7.16 6.79 7.04 7.00


Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 4 mst
SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 0.97 0.49 0.60 tn 3.44
Perlakuan 11 2.36 0.21 0.26 tn 2.26
C 3 0.22 0.07 0.09 tn 3.05
V 2 0.84 0.42 0.52 tn 3.44
C x V 6 1.29 0.22 0.27 tn 2.55
Galat 22 17.84 0.81
Total 35 21.17
* nyata
FK 1762.6 tn tidak nyata
KK 12.87


































Lampiran 7. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 5 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 15.60 16.30 15.80 47.70 15.90
C0V2 16.80 18.00 18.20 53.00 17.67
C0V3 18.90 21.60 21.30 61.80 20.60
C1V1 14.30 14.70 14.60 43.60 14.53
C1V2 16.00 16.40 16.90 49.30 16.43
C1V3 18.10 19.00 20.00 57.10 19.03
C2V1 11.60 11.10 11.80 34.50 11.50
C2V2 14.40 14.00 15.00 43.40 14.47
C2V3 14.00 16.60 17.00 47.60 15.87
C3V1 10.70 11.56 11.00 33.26 11.09
C3V2 11.90 12.90 13.20 38.00 12.67
C3V3 13.90 14.00 12.00 39.90 13.30
Total 176.20 186.16 186.80 549.16
Rataan 14.68 15.51 15.57 15.25

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 47.70 53.00 61.80 162.50 54.17
C1 43.60 49.30 57.10 150.00 50.00
C2 34.50 43.40 47.60 125.50 41.83
C3 33.26 38.00 39.90 111.16 37.05
Total 159.06 183.70 206.40 549.16
Rataan 39.77 45.93 51.60 45.76

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 15.90 17.67 20.60 54.17 18.06
C1 14.53 16.43 19.03 50.00 16.67
C2 11.50 14.47 15.87 41.83 13.94
C3 11.09 12.67 13.30 37.05 12.35
Total 53.02 61.23 68.80 183.05
Rataan 13.26 15.31 17.20 15.25




Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 5 mst
SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 5.89 2.94 5.34 * 3.44
Perlakuan 11 281.94 25.63 46.53 * 2.26
C 3 179.87 59.96 108.84 * 3.05
V 2 93.43 46.72 84.80 * 3.44
C x V 6 8.63 1.44 2.61 * 2.55
Galat 22 12.12 0.55
Total 35 299.94
* nyata
FK 8377.13 tn tidak nyata
KK 4.87

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 5 minggu setelah tanam
SY 0.35
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.03 1.08 1.11 1.13

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 12.35 13.94 16.67 18.06
.a
.b
.c
.d


Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 5 minggu setelah tanam
SY 0.26
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.77 0.81 0.83

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 13.26 15.31 17.20
.a
.b
.c

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 5 minggu setelah tanam

Faktor C x V
SY 0.35
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Perlakuan C3V1 C2V1 C3V2 C3V3 C2V2 C1V1 C2V3 C0V1 C1V2 C0V2 C1V3 C0V3
Rataan 11.09 11.50 12.67 13.30 14.47 14.53 15.87 15.90 16.43 17.67 19.03 20.60
.a
.b
.c



d



e



f



g

























Lampiran 8. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 6 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 22.60 21.30 23.40 67.30 22.43
C0V2 23.40 26.44 25.30 75.14 25.05
C0V3 27.76 29.80 30.00 87.56 29.19
C1V1 20.40 21.00 20.77 62.17 20.72
C1V2 21.40 22.90 23.30 67.60 22.53
C1V3 26.40 24.00 26.00 76.40 25.47
C2V1 15.60 16.40 15.80 47.80 15.93
C2V2 22.10 21.44 20.30 63.84 21.28
C2V3 24.30 24.80 25.70 74.80 24.93
C3V1 14.00 15.30 14.50 43.80 14.60
C3V2 16.40 16.70 18.30 51.40 17.13
C3V3 22.80 22.80 23.00 68.60 22.87
Total 257.16 262.88 266.37 786.41
Rataan 21.43 21.91 22.20 21.84

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 67.30 75.14 87.56 230.00 76.67
C1 62.17 67.60 76.40 206.17 68.72
C2 47.80 63.84 74.80 186.44 62.15
C3 43.80 51.40 68.60 163.80 54.60
Total 221.07 257.98 307.36 786.41
Rataan 55.27 64.50 76.84 65.53


Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 22.43 25.05 29.19 76.67 25.56
C1 20.72 22.53 25.47 68.72 22.91
C2 15.93 21.28 24.93 62.15 20.72
C3 14.60 17.13 22.87 54.60 18.20
Total 73.69 85.99 102.45 262.14
Rataan 18.42 21.50 25.61 21.84


Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 6 mst
SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 3.60 1.80 2.21 tn 3.44
Perlakuan 11 599.65 54.51 66.94 * 2.26
C 3 265.13 88.38 108.53 * 3.05
V 2 312.41 156.20 191.82 * 3.44
C x V 6 22.11 3.68 4.52 * 2.55
Galat 22 17.92 0.81
Total 35 621.17
* nyata
FK 17178.9 tn tidak nyata
KK 4.13

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 6 minggu setelah tanam

SY 0.43 16.95 19.41 21.56 24.18
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.25 1.31 1.35 1.38

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 18.20 20.72 22.91 25.56
.a
.b
.c
.d

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 6 minggu setelah tanam

SY 0.32 17.49 20.52 24.60
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.93 0.98 1.01

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 18.42 21.50 25.61
.a
.b
.c
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 6 minggu setelah tanam

Faktor C x V
SY 0.43
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 1.25 1.31 1.35 1.38 1.40 1.41 1.43 1.43 1.44 1.45 1.45 1.46

Perlakuan C3V1 C2V1 C3V2 C1V1 C2V2 C0V1 C1V2 C3V3 C2V3 C0V2 C1V3 C0V3
Rataan 14.60 15.93 17.13 20.72 21.28 22.43 22.53 22.87 24.93 25.05 25.47 29.19
.a



b



c



d



e
.f

























Lampiran 9. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 7 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 25.60 24.30 26.40 76.30 25.43
C0V2 28.44 29.88 32.56 90.88 30.29
C0V3 35.30 36.70 37.00 109.00 36.33
C1V1 22.66 23.70 23.47 69.83 23.28
C1V2 24.30 25.00 26.88 76.18 25.39
C1V3 30.90 31.90 33.00 95.80 31.93
C2V1 18.70 19.10 18.80 56.60 18.87
C2V2 24.00 23.90 25.00 72.90 24.30
C2V3 27.90 28.90 28.60 85.40 28.47
C3V1 15.30 16.30 16.00 47.60 15.87
C3V2 20.90 20.90 22.00 63.80 21.27
C3V3 24.90 25.40 27.00 77.30 25.77
Total 298.90 305.98 316.71 921.59
Rataan 24.91 25.50 26.39 25.60

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 76.30 90.88 109.00 276.18 92.06
C1 69.83 76.18 95.80 241.81 80.60
C2 56.60 72.90 85.40 214.90 71.63
C3 47.60 63.80 77.30 188.70 62.90
Total 250.33 303.76 367.50 921.59
Rataan 62.58 75.94 91.88 76.80


Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 25.43 30.29 36.33 92.06 30.69
C1 23.28 25.39 31.93 80.60 26.87
C2 18.87 24.30 28.47 71.63 23.88
C3 15.87 21.27 25.77 62.90 20.97
Total 83.44 101.25 122.50 307.20
Rataan 20.86 25.31 30.63 25.60


Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 7 mst

SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 13.40 6.70 13.79 * 3.44
Perlakuan 11 1054.80 95.89 197.30 * 2.26
C 3 467.24 155.75 320.45 * 3.05
V 2 573.51 286.76 590.01 * 3.44
C x V 6 14.05 2.34 4.82 * 2.55
Galat 22 10.69 0.49
Total 35 1078.89
* nyata
FK 23592.4 tn tidak nyata
KK 2.72

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 7 minggu setelah tanam

SY 0.33
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 0.96 1.01 1.04 1.06

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 20.97 23.88 26.87 30.69
.a
.b
.c
.d

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 7 minggu setelah tanam

SY 0.25
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.72 0.76 0.78

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 20.86 25.31 30.63
.a
.b
.c
Faktor C x V
SY 0.33
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 0.96 1.01 1.04 1.06 1.08 1.09 1.10 1.11 1.11 1.12 1.12 1.13

Perlakuan C3V1 C2V1 C3V2 C1V1 C2V2 C0V1 C1V2 C3V3 C2V3 C0V2 C1V3 C0V3
Rataan 15.87 18.87 21.27 23.28 24.30 25.43 25.39 25.77 28.47 30.29 31.93 36.33
.a
.b
.c
.d



e



f
.g
.h
.i
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 7 minggu setelah tanam
























Lampiran 10. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 8 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 28.00 28.00 31.40 87.40 29.13
C0V2 35.90 35.80 36.00 107.70 35.90
C0V3 39.80 39.90 41.80 121.50 40.50
C1V1 25.70 26.30 26.40 78.40 26.13
C1V2 27.60 26.92 28.40 82.92 27.64
C1V3 35.20 34.40 37.00 106.60 35.53
C2V1 21.40 22.30 21.80 65.50 21.83
C2V2 26.90 26.90 28.08 81.88 27.29
C2V3 30.90 31.60 31.78 94.28 31.43
C3V1 18.70 21.70 18.82 59.22 19.74
C3V2 25.20 23.90 25.10 74.20 24.73
C3V3 27.90 28.90 28.64 85.44 28.48
Total 343.20 346.62 355.22 1045.04
Rataan 28.60 28.89 29.60 29.03

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 87.40 107.70 121.50 316.60 105.53
C1 78.40 82.92 106.60 267.92 89.31
C2 65.50 81.88 94.28 241.66 80.55
C3 59.22 74.20 85.44 218.86 72.95
Total 290.52 346.70 407.82 1045.04
Rataan 72.63 86.68 101.96 87.09

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 29.13 35.90 40.50 105.53 35.18
C1 26.13 27.64 35.53 89.31 29.77
C2 21.83 27.29 31.43 80.55 26.85
C3 19.74 24.73 28.48 72.95 24.32
Total 96.84 115.57 135.94 348.35
Rataan 24.21 28.89 33.99 29.03

Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 8 mst

SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 6.39 3.20 3.92 * 3.44
Perlakuan 11 1191.01 108.27 132.88 * 2.26
C 3 587.64 195.88 240.39 * 3.05
V 2 573.64 286.82 351.99 * 3.44
C x V 6 29.73 4.95 6.08 * 2.55
Galat 22 17.93 0.81
Total 35 1215.33
* nyata
FK 30336.4 tn tidak nyata
KK 3.11

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 8 minggu setelah tanam

SY 0.43
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.25 1.31 1.35 1.38

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 24.32 26.85 29.77 35.18
.a
.b
.c
d

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 8 minggu setelah tanam

SY 0.32
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.94 0.98 1.01

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 24.21 28.89 33.99
.a
.b
.c
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 8 minggu setelah tanam
Faktor C x V
SY 0.43
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 1.25 1.31 1.35 1.38 1.40 1.41 1.43 1.43 1.44 1.45 1.46 1.46

Perlakuan C3V1 C2V1 C3V2 C1V1 C2V2 C1V2 C3V3 C0V1 C2V3 C0V2 C1V3 C0V3
Rataan 19.74 21.83 24.73 26.13 27.29 27.64 28.48 29.13 31.43 35.90 35.53 40.50
.a

b
.c



d


.e
.f
.g
.h

























Lampiran 11. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 9 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 33.40 35.40 33.80 102.60 34.20
C0V2 39.90 40.40 40.10 120.40 40.13
C0V3 43.86 43.80 45.80 133.46 44.49
C1V1 28.10 31.38 29.82 89.30 29.77
C1V2 34.98 35.90 36.08 106.96 35.65
C1V3 39.22 39.50 41.00 119.72 39.91
C2V1 25.00 27.90 26.00 78.90 26.30
C2V2 32.90 31.10 32.10 96.10 32.03
C2V3 32.00 33.20 33.30 98.50 32.83
C3V1 22.70 23.89 22.82 69.41 23.14
C3V2 29.20 28.90 29.10 87.20 29.07
C3V3 31.90 33.96 32.60 98.46 32.82
Total 393.16 405.33 402.52 1201.01
Rataan 32.76 33.78 33.54 33.36

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 102.60 120.40 133.46 356.46 118.82
C1 89.30 106.96 119.72 315.98 105.33
C2 78.90 96.10 98.50 273.50 91.17
C3 69.41 87.20 98.46 255.07 85.02
Total 340.21 410.66 450.14 1201.01
Rataan 85.05 102.67 112.54 100.08

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 34.20 40.13 44.49 118.82 39.61
C1 29.77 35.65 39.91 105.33 35.11
C2 26.30 32.03 32.83 91.17 30.39
C3 23.14 29.07 32.82 85.02 28.34
Total 113.40 136.89 150.05 400.34
Rataan 28.35 34.22 37.51 33.36


Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 9 mst
SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 6.77 3.38 4.59 * 3.44
Perlakuan 11 1219.62 110.87 150.44 * 2.26
C 3 684.87 228.29 309.76 * 3.05
V 2 516.85 258.42 350.65 * 3.44
C x V 6 17.90 2.98 4.05 * 2.55
Galat 22 16.21 0.74
Total 35 1242.60
* nyata
FK 40067.4 tn tidak nyata
KK 2.57

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 9 minggu setelah tanam

SY 0.40
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.19 1.25 1.28 1.31

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 28.34 30.39 35.11 39.61
.a
.b
.c
.d

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 9 minggu setelah tanam

SY 0.30
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.89 0.93 0.96

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 28.35 34.22 37.51
.a
.b
.c
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 9 minggu setelah tanam

Faktor C x V
SY 0.40
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 1.19 1.25 1.28 1.31 1.33 1.34 1.36 1.36 1.37 1.38 1.38 1.39

Perlakuan C3V1 C2V1 C3V2 C1V1 C2V2 C3V3 C2V3 C0V1 C1V2 C1V3 C0V2 C0V3
Rataan 23.14 26.30 29.07 29.77 32.03 32.82 32.83 34.20 35.65 39.91 40.13 44.49
.a

b
.c
.d

e

f
.g
.h


























Lampiran 12. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 9 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 37.20 39.50 38.20 114.90 38.30
C0V2 44.70 45.10 45.06 134.86 44.95
C0V3 48.80 48.10 49.10 146.00 48.67
C1V1 32.60 33.20 32.70 98.50 32.83
C1V2 38.30 39.60 40.20 118.10 39.37
C1V3 40.15 40.40 42.30 122.85 40.95
C2V1 27.40 29.60 29.88 86.88 28.96
C2V2 34.00 35.00 33.00 102.00 34.00
C2V3 38.50 41.88 40.68 121.06 40.35
C3V1 28.40 29.98 28.36 86.74 28.91
C3V2 34.60 33.14 33.80 101.54 33.85
C3V3 36.40 38.60 36.80 111.80 37.27
Total 441.05 454.10 450.08 1345.23
Rataan 36.75 37.84 37.51 37.37

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 114.90 134.86 146.00 395.76 131.92
C1 98.50 118.10 122.85 339.45 113.15
C2 86.88 102.00 121.06 309.94 103.31
C3 86.74 101.54 111.80 300.08 100.03
Total 387.02 456.50 501.71 1345.23
Rataan 96.76 114.13 125.43 112.10


Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 38.30 44.95 48.67 131.92 43.97
C1 32.83 39.37 40.95 113.15 37.72
C2 28.96 34.00 40.35 103.31 34.44
C3 28.91 33.85 37.27 100.03 33.34
Total 129.01 152.17 167.24 448.41
Rataan 32.25 38.04 41.81 37.37

Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 10 mst

SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 7.44 3.72 4.61 * 3.44
Perlakuan 11 1194.89 108.63 134.39 * 2.26
C 3 616.91 205.64 254.40 * 3.05
V 2 556.26 278.13 344.09 * 3.44
C x V 6 21.73 3.62 4.48 * 2.55
Galat 22 17.78 0.81
Total 35 1220.11
* nyata
FK 50267.9 tn tidak nyata
KK 2.41

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 10 minggu setelah tanam

SY 0.42
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.24 1.31 1.34 1.37

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 33.34 34.44 37.72 43.97
.a
.b



c


Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 10 minggu setelah tanam

SY 0.32
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.93 0.98 1.01

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 32.25 38.04 41.81
.a
.b
.c
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 10 minggu setelah tanam

Faktor C x V
SY 0.42
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 1.24 1.31 1.34 1.37 1.39 1.41 1.42 1.43 1.44 1.45 1.45 1.45

Perlakuan C3V1 C2V1 C1V1 C3V2 C2V2 C3V3 C0V1 C1V2 C2V3 C1V3 C0V2 C0V3
Rataan 28.91 28.96 32.83 33.85 34.00 37.27 38.30 39.37 40.35 40.95 44.95 48.67
.a
.b

c

d
.e

f

g



























Lampiran 13. Data Intensitas Serangan Penyakit X. campestris pv oryzae pada pengamatan 11 minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 42.20 43.50 41.20 126.90 42.30
C0V2 47.70 49.10 50.06 146.86 48.95
C0V3 51.80 50.10 55.10 157.00 52.33
C1V1 37.60 37.20 35.70 110.50 36.83
C1V2 43.30 41.60 45.20 130.10 43.37
C1V3 43.15 44.40 45.30 132.85 44.28
C2V1 32.40 33.60 32.88 98.88 32.96
C2V2 39.40 38.35 39.00 116.75 38.92
C2V3 43.50 44.88 44.68 133.06 44.35
C3V1 31.40 34.98 32.36 98.74 32.91
C3V2 37.60 38.14 35.80 111.54 37.18
C3V3 40.40 41.60 42.80 124.80 41.60
Total 490.45 497.45 500.08 1487.98
Rataan 40.87 41.45 41.67 41.33

Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 126.90 146.86 157.00 430.76 143.59
C1 110.50 130.10 132.85 373.45 124.48
C2 98.88 116.75 133.06 348.69 116.23
C3 98.74 111.54 124.80 335.08 111.69
Total 435.02 505.25 547.71 1487.98
Rataan 108.76 126.31 136.93 124.00

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 42.30 48.95 52.33 143.59 47.86
C1 36.83 43.37 44.28 124.48 41.49
C2 32.96 38.92 44.35 116.23 38.74
C3 32.91 37.18 41.60 111.69 37.23
Total 145.01 168.42 182.57 495.99
Rataan 36.25 42.10 45.64 41.33



Daftar Analisa Sidik Ragam Intensitas Serangan pada Daun (%) 11 mst

SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 4.13 2.06 1.25 tn 5.72
Perlakuan 11 1163.13 105.74 64.17 * 3.18
C 3 591.70 197.23 119.69 * 5.72
V 2 535.84 267.92 162.59 * 4.82
C x V 6 37.60 6.27 3.80 * 3.76
Galat 22 36.25 1.65
Total 35 1203.51
* nyata
FK 61502.3 tn tidak nyata
KK 3.11

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium yang berbeda 11 minggu setelah tanam

SY 0.61
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 1.77 1.86 1.92 1.96

Perlakuan C3 C2 C1 C0
Rataan 37.23 38.74 41.49 47.86
.a
.b



c

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada beberapa varietas 11 minggu setelah tanam
SY 0.45
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 1.33 1.40 1.44

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 36.25 42.10 45.64
.a
.b
.c
Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan X. campestris pv oryzae pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas 11 minggu setelah tanam

SY 0.61
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 1.77 1.86 1.92 1.96 1.99 2.01 2.03 2.04 2.05 2.06 2.07 2.08

Perlakuan C3V1 C2V1 C1V1 C3V2 C2V2 C3V3 C0V1 C1V2 C1V3 C2V3 C0V2 C0V3
Rataan 32.91 32.96 36.33 37.18 38.92 41.60 42.30 43.37 44.28 44.35 48.95 52.33
.a
.b


c
. .d




e
.f
g














\












Lampiran 14. Data Produksi Padi (Ton/ha)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
C0V1 6.95 7.32 7.45 21.72 7.24
C0V2 7.80 8.36 8.30 24.46 8.15
C0V3 8.50 8.48 9.25 26.23 8.74
C1V1 7.50 7.20 7.50 22.20 7.40
C1V2 7.98 8.30 8.46 24.74 8.25
C1V3 9.60 9.20 9.60 28.40 9.47
C2V1 7.23 7.40 7.93 22.56 7.52
C2V2 8.20 8.22 8.40 24.82 8.27
C2V3 10.25 10.50 10.10 30.85 10.28
C3V1 7.40 7.62 6.84 21.86 7.29
C3V2 8.24 8.50 8.40 25.14 8.38
C3V3 11.75 11.20 10.34 33.29 11.10
Total 101.40 102.30 102.57 306.27
Rataan 8.45 8.53 8.55 8.51


Tabel Dwikasta Total
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 21.72 24.46 26.23 72.41 24.14
C1 22.20 24.74 28.40 75.34 25.11
C2 22.56 24.82 30.85 78.23 26.08
C3 21.86 25.14 33.29 80.29 26.76
Total 88.34 99.16 118.77 306.27
Rataan 22.09 24.79 29.69 25.52

Tabel Dwikasta Rataan
Perlakuan Ulangan Total Rataan
V1 V2 V3
C0 7.24 8.15 8.74 24.14 8.05
C1 7.40 8.25 9.47 25.11 8.37
C2 7.52 8.27 10.28 26.08 8.69
C3 7.29 8.38 11.10 26.76 8.92
Total 29.45 33.05 39.59 102.09
Rataan 7.36 8.26 9.90 8.51



Daftar Analisa Sidik Ragam Produksi Padi
SK db JK KT Fhit F0.05
Ulangan 2 0.06 0.03 0.26 tn 3.44
Perlakuan 11 49.19 4.47 36.80 * 2.26
C 3 3.93 1.31 10.79 * 3.05
V 2 39.66 19.83 163.19 * 3.44
C x V 6 5.60 0.93 7.68 * 2.55
Galat 22 2.67 0.12
Total 35 51.92
* nyata
FK 2605.59 tn tidak nyata
KK 4.10

Uji Jarak Duncan produksi padi pada perlakuan Konsentrasi Corynebacterium (ton/ha)
SY 0.16
P 2 3 4 5
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24
LSR 0.05 0.48 0.51 0.52 0.53

Perlakuan C0 C1 C2 C3
Rataan 8.05 8.37 8.69 8.92



a



b

Uji Jarak Duncan produksi padi beberapa varietas (ton/ha)
SY 0.12
P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 0.36 0.38 0.39

Perlakuan V1 V2 V3
Rataan 7.36 8.26 9.90
.a
.b
.c





Uji Jarak Duncan produksi padi (ton/ha) pada interaksi Konsentrasi Corynebacterium dengan beberapa varietas
SY 0.16
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 0.48 0.51 0.52 0.53 0.54 0.55 0.55 0.55 0.56 0.56 0.56 0.56

Perlakuan C0V1 C1V1 C2V1 C3V1 C0V2 C1V2 C2V2 C3V2 C0V3 C1V3 C2V3 C3V3
Rataan 7.24 7.40 7.52 7.29 8.15 8.25 8.27 8.38 8.74 9.47 10.28 11.10
.a
.b
.c



d
.e

f






























Lampiran 14. Foto lahan penelitian